Tidak Ada Salju Di Sini

Aryasuta
Chapter #23

Salju Tokyo - Potongan 4

Apartemen Martha Tanaka hanya sedikit lebih besar dari apartemen Lea, dengan dekorasi yang mencerminkan perpaduan dua budaya—ornamen Jepang berdampingan dengan ukiran kayu Batak dan salib Kristen yang menggantung di dinding utama.

"Selamat datang, Rushd-san," sambut Martha dalam bahasa Inggris yang kaku namun jelas. Perempuan itu berbadan kecil, dengan rambut hitam yang mulai beruban diikat rapi, dan mata yang tajam sama seperti Lea. "Senang akhirnya bertemu denganmu."

"Senang bertemu dengan Anda juga, Nyonya Tanaka," balas Rahmat, membungkuk sopan. "Terima kasih telah mengundang saya."

Martha mengamati Rahmat dari atas ke bawah, penilaian diam yang tidak berusaha ia sembunyikan. "Silakan masuk. Makanan hampir siap. Saya mencoba memasak beberapa masakan Indonesia."

Mereka duduk di meja makan kecil yang telah diatur dengan rapi—mangkuk nasi, sumpit, dan beberapa hidangan yang Rahmat kenali sebagai upaya pembuatan rendang, sayur lodeh, dan acar. Tidak persis seperti versi Indonesia, tapi jelas dibuat dengan upaya sepenuh hati.

"Ini sangat enak, Nyonya Tanaka," kata Rahmat setelah mencicipi. "Mengingatkan saya pada masakan Indonesia."

"Saya tinggal di Medan selama lima tahun sebelum pindah ke Jepang," jawab Martha. "Tapi itu sudah lama sekali. Mungkin tangan saya sudah lupa."

Percakapan mengalir dengan kecanggungan awal yang perlahan mencair. Martha bertanya tentang pekerjaan Rahmat, tentang keluarganya di Indonesia, dan tentang pandangannya mengenai perubahan iklim. Rahmat menjawab dengan sopan dan terperinci, jelas berusaha membuat kesan baik.

"Jadi, Rushd-san, Lea bilang kau bekerja untuk National Geographic," kata Martha saat mereka mulai makan pencuci mulut—puding dengan saus kelapa yang terlalu manis. "Itu karir yang tidak biasa untuk seseorang dari latar belakangmu."

"Mama," tegur Lea pelan.

"Tidak apa-apa," kata Rahmat tersenyum. "Ya, keluarga saya memiliki pesantren—sekolah Islam—di Bandung. Ayah saya adalah pemimpinnya. Secara tradisi, saya seharusnya mengikuti jejaknya."

"Tapi kau memilih jalan lain," sambung Martha menatapnya dengan intens. "Kenapa?"

"Saya percaya bahwa ada banyak cara untuk menjalani iman, Nyonya. Ayah saya mengajarkan tentang Islam melalui kitab suci. Saya mencoba menunjukkan keajaiban ciptaan Allah melalui fotografi—keindahan alam, keberagaman budaya, dan perjuangan manusia."

"Hmm." Martha menyesap tehnya. "Dan bagaimana keluargamu menanggapi pilihan ini?"

"Dengan kesulitan," jawab Rahmat jujur. "Terutama ayah saya. Tapi mereka mulai melihat bahwa karya saya memiliki dampak dan nilai tersendiri."

Martha mengangguk perlahan, seolah menilai kejujuran dalam jawaban Rahmat. Matanya beralih ke salib di dinding, lalu kembali ke Rahmat.

"Dan apa pendapatmu tentang keyakinan yang berbeda, Rushd-san? Tentang Kristen, misalnya?"

Lea menegang. Mamanya tidak pernah suka basa-basi. Selalu langsung ke intinya.

"Saya menghormati semua iman yang mengajarkan kebaikan dan kasih," jawab Rahmat dengan hati-hati. "Islam mengajarkan kita untuk menghormati Ahli Kitab—Yahudi dan Kristen. Kami memiliki banyak nabi yang sama, banyak nilai yang sama."

Lihat selengkapnya