Makan malam berakhir dalam keheningan yang tidak nyaman, seperti gencatan senjata yang rapuh. Saat mereka berpamitan, Martha menarik Lea ke samping, berbisik dalam bahasa Indonesia, "Dia pria yang baik, Lea. Tapi ingat kata Mama dulu, pernikahan bukan hanya tentang dua orang saling mencintai. Ini tentang dua dunia yang bersatu, dan kadang dunia-dunia itu terlalu berbeda untuk disatukan."
Lea hanya mengangguk, tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk merespon. Sebagai ilmuwan, ia terbiasa berurusan dengan fakta dan data, bukan dengan perasaan yang kompleks ini—perasaan terjepit di antara dunia yang berbeda.
Di luar, malam Tokyo memeluk mereka dengan udara dinginnya yang kering. Lea dan Rahmat berjalan dalam diam, kaki mereka secara otomatis menuju taman kecil tempat mereka biasa duduk dan berbicara, tempat di mana ciuman pertama mereka terjadi di bawah anomali salju.
"Kau baik-baik saja?" tanya Rahmat akhirnya dengan suara yang terdengar lebih dalam di keheningan malam.
"Entahlah," jawab Lea jujur. "Mario selalu protektif, tapi malam ini ia seperti pengacara yang sedang cross examination."
"Itu wajar. Ia mencintaimu dan ingin melindungimu."
"Dari apa? Darimu?"
Rahmat tersenyum tipis. "Dari kesalahan, mungkin. Dari pilihan yang akan membuat hidupmu lebih sulit."
Mereka tiba di taman, duduk di bangku yang sama seperti malam anomali salju itu. Lea menyandarkan kepalanya ke bahu Rahmat, sebuah gestur yang kini terasa natural, seperti partikel yang menemukan orbit stabilnya.