Tidak Ada Salju Di Sini

Aryasuta
Chapter #28

Dunia Berbeda - Potongan 4

Apartemen Rahmat adalah sebuah studio kecil di Kichijoji, tidak jauh dari taman tempat mereka sering menghabiskan waktu. Berbeda dengan apartemen Lea yang steril dan teratur, ruang ini penuh dengan kehidupan yang berantakan, foto-foto tertempel di dinding dengan pola yang hanya dipahami penciptanya, buku-buku tersebar di meja dan lantai, dan aroma kopi yang selalu mengambang di udara.

Malam itu, setelah pertemuan dengan Mario, mereka kembali ke apartemen Rahmat. Lea duduk di tepi ranjang, mengamati bagaimana Rahmat dengan telaten mentransfer foto-foto dari kamera ke laptopnya, ritual malam yang telah ia saksikan berkali-kali selama tiga bulan terakhir.

"Kau ingin melihatnya?" tanya Rahmat, menunjuk layar laptop. "Tunas sakura yang kuceritakan."

Lea bergeser mendekatinya, matanya langsung tertarik pada foto close up tunas mungil berwarna hijau kecoklatan yang muncul dari ranting abu-abu. Komposisi foto itu menangkap kontras dengan sempurna, kehidupan baru di tengah ketelanjangan musim dingin, harapan di tengah kekosongan.

"Indah," bisiknya, dan menyadari bahwa kata itu jarang sekali ia gunakan dalam konteks profesionalnya. Indah bukan istilah ilmiah; tidak ada parameter objektif untuk mengukurnya. Namun, di samping Rahmat, kata itu terasa tepat.

"Ada yang lebih indah lagi," kata Rahmat, menggeser beberapa foto hingga sampai pada sebuah gambar yang membuat napas Lea tercekat.

Itu adalah foto dirinya, Lea yang tidak sadar sedang difoto, berdiri di laboratorium dengan latar belakang layar komputer yang menampilkan grafik arus laut. Wajahnya dalam bingkai, separuh dalam bayangan, separuh diterangi cahaya dari monitor. Matanya fokus, dahinya sedikit berkerut dalam konsentrasi, sementara jari-jarinya mengetik sesuatu di keyboard. Ada intensitas dalam gambar itu, kedalaman yang mengejutkan Lea seolah Rahmat telah menangkap esensi dirinya dalam sepersekian detik.

"Kapan kau mengambil ini?" tanyanya, hampir berbisik.

"Seminggu lalu, saat kau menganalisis data Kuroshio terbaru." Rahmat menatapnya dengan pandangan yang hanya bisa Lea deskripsikan sebagai pemujaan halus. "Kau tidak menyadarinya—terlalu tenggelam dalam duniamu."

"Aku terlihat seperti..." Lea berhenti, mencari kata yang tepat.

"Seperti perempuan yang mencintai apa yang ia lakukan," sambung Rahmat. "Seorang ilmuwan dalam momentumnya. Indah dalam fokus dan determinasinya."

Lea merasakan hangat menjalar di pipinya, bukan karena malu, tapi karena pengakuan. Rahmat melihatnya dengan cara yang tak pernah dilihat orang lain, bukan hanya sebagai peneliti dengan dua gelar doktor, bukan pula sekadar perempuan Jepang-Indonesia, tapi sebagai Lea yang utuh, dengan kompleksitas dan kontradiksinya.

"Rahmat," ucap Lea menatapnya, tiba-tiba merasakan urgensi untuk mengutarakan sesuatu yang telah berkembang dalam dirinya selama berbulan-bulan ini. "Aku…"

Lihat selengkapnya