Pagi menyingsing dengan kelabu yang begitu khas Tokyo di musim dingin. Lea terbangun dengan pemandangan Rahmat yang masih menggelung di sofa, napasnya teratur meniup lembut tengkuknya. Ia berbaring diam, merekam momen ini dalam memorinya, aroma khas Rahmat, rasa aman aneh yang ia rasakan dalam pelukan pria yang seharusnya terlalu berbeda untuk menjadi cocok dengannya.
Dengan hati-hati, Lea beranjak dari tempat tidur, bergerak tanpa suara untuk tidak membangunkan Rahmat. Ia mengenakan jaket Rahmat yang tersampir di kursi, terlalu besar untuk tubuhnya, tapi entah mengapa terasa tepat, dan berjalan menuju jendela.
Tokyo terhampar di hadapannya, bersiap menyongsong hari baru. Orang-orang bergerak di bawah sana, masing-masing dengan tujuan dan kisahnya sendiri, tak menyadari bahwa di sebuah apartemen kecil di Kichijoji, seorang perempuan sedang berdiri di persimpangan penting hidupnya.
Ikutlah denganku.
Undangan Rahmat bergema dalam pikirannya seperti mantra. Ikut ke Indonesia berarti meninggalkan zona amannya, laboratorium, penelitiannya, rutinitas yang telah ia bangun selama bertahun-tahun. Berarti menghadapi dunia Rahmat yang asing, keluarganya yang mungkin tidak menerimanya, dan budaya yang telah ia tinggalkan sejak kecil.
Namun, tetap tinggal berarti apa? Menunggu dalam ketidakpastian? Melanjutkan hubungan jarak jauh yang entah kapan akan berakhir? Atau mungkin, perlahan-lahan memutuskan bahwa perbedaan mereka memang terlalu besar untuk dijembatani?
"Kau berpikir terlalu keras, aku bisa mendengarnya dari sini."