Tidak Ada Salju Di Sini

Aryasuta
Chapter #30

Dunia Berbeda - Potongan 6

Langit Jakarta menyambut mereka dengan intensitas yang mengejutkan, biru terang yang hampir menyakitkan mata setelah berminggu-minggu di bawah kelabu Tokyo. Panas dan kelembaban menampar wajah Lea begitu ia melangkah keluar dari terminal kedatangan internasional Bandara Soekarno-Hatta, mengingatkan bahwa ia telah meninggalkan dunianya yang teratur dan terkendali, memasuki dunia yang beroperasi dengan aturan yang sama sekali berbeda.

"Selamat datang kembali," kata Rahmat, tangannya melingkari bahu Lea dalam gestur protektif. "Ke Indonesia."

Lea mengangguk, terlalu terpesona oleh hiruk-pikuk dan kekacauan harmonis bandara untuk menjawab. Orang-orang bergerak dalam pola yang tampak acak namun entah bagaimana tetap berfungsi, bahasa Indonesia mengambang di udara seperti musik asing yang familier, dan aroma, campuran wewangian tubuh, makanan, dan jejak polusi, membawa kenangan samar akan kunjungan masa kecilnya.

Perjalanan dari Jakarta ke Bandung membawa mereka melewati pemandangan yang terus berubah, dari kemacetan metropolitan hingga kehijauan pegunungan, dari gedung-gedung tinggi hingga rumah-rumah sederhana dengan kebun kecil. Sepanjang perjalanan, Rahmat tidak melepaskan genggaman tangannya pada tangan Lea, seolah takut ia akan menghilang jika dilepaskan.

"Kau gugup," kata Rahmat saat mobil mereka mendekati Bandung, memecah keheningan kontemplasi yang telah berlangsung beberapa saat.

"Sedikit," aku Lea. Satu kebohongan kecil yang ia yakin Rahmat dapat melihatnya. "Bagaimana dengan keluargamu? Mereka tahu aku ikut?"

"Ya," jawab Rahmat. "Aku memberitahu mereka tadi malam."

"Dan?"

"Mereka... akan menerima tamu dari Jepang dengan baik."

Lea menangkap keraguan halus dalam suara Rahmat. "Apakah mereka tahu tentang kita? Tentang hubungan kita?"

Rahmat terdiam sejenak sebelum menjawab, "Ayah tahu. Aku tidak bisa berbohong padanya, terutama dalam kondisinya sekarang. Ibu mungkin sudah menduga. Sarah pasti tahu, dia selalu tahu segalanya entah bagaimana."

"Dan Bunga?" tanya Lea, nama itu terasa aneh di lidahnya, nama perempuan yang seharusnya menjadi pasangan Rahmat dalam dunia paralel di mana mereka tidak pernah bertemu.

"Bunga juga akan ada di sana," jawab Rahmat, matanya tetap fokus pada jalan. "Dia seperti keluarga. Selalu ada saat-saat penting."

Lea mengangguk, mencoba menekan kecemburuan irasional yang tiba-tiba muncul. Bunga adalah bagian dari dunia Rahmat, bagian dari kehidupannya jauh sebelum Lea hadir. Ia harus memahami dan menerima itu.

Mobil mereka akhirnya berbelok memasuki sebuah kompleks perumahan di pinggiran Bandung. Rumah-rumah berderet dengan halaman kecil, beberapa dengan pohon mangga atau rambutan yang rindang, yang lain dengan taman bunga mungil yang tertata rapi.

"Kita sampai," kata Rahmat saat mobil berhenti di depan sebuah rumah dua lantai bergaya tradisional dengan sentuhan modern. Gerbang besinya dicat hijau tua, dan di atas pintu masuk tertulis kaligrafi Arab yang Lea tidak bisa baca.

Lihat selengkapnya