Hampir satu jam berlalu ketika pintu terbuka dan seorang perempuan masuk, cantik dengan cara yang sederhana namun mencolok, mengenakan jilbab berwarna marun dan kemeja lengan panjang senada. Bunga Zulaika.
"Assalamualaikum," sapanya, tersenyum pada Sarah sebelum tatapannya jatuh pada Lea. Senyumnya berubah, tidak menghilang, tapi menjadi lebih hati-hati. "Kau pasti Lea."
"Waalaikumsalam," jawab Lea, berusaha mengingat sapaan yang diajarkan Rahmat. "Ya, aku Lea. Kau pasti Bunga."
"Tentu saja dia tahu siapa kau," kata Sarah, tersenyum melihat kecanggungan di antara keduanya. "Rahmat pasti banyak bercerita."
"Aku harap semuanya baik," kata Bunga, duduk di kursi di seberang Lea. "Bagaimana Tokyo? Rahmat selalu mengirimi kami foto-foto indah dari sana."
"Tokyo... berbeda dari Bandung," jawab Lea diplomatis.
"Dan bagaimana dengan kalian berdua?" tanya Bunga langsung, memotong obrolan kecil dengan efisiensi yang mengingatkan Lea pada dirinya sendiri.
"Bunga," tegur Sarah pelan, mengerutkan dahi.
"Tidak apa-apa," kata Lea. "Kami... sedang menjalin hubungan, ya."
"Dan itu membawamu ke sini," kata Bunga, bukan pertanyaan, tapi pernyataan. "Ke rumah keluarganya. Ke dunianya."
Ada sesuatu dalam nada suara Bunga yang membuat Lea waspada, bukan permusuhan terbuka, tapi pengakuan atas kompleksitas situasi yang mereka hadapi.