Matahari Bandung adalah entitas yang berbeda dari matahari Tokyo, pikir Lea saat menyaksikan bagaimana cahaya pagi menyusup masuk melalui celah tirai kamar tamu keluarga Rushd. Di Tokyo, matahari adalah kehadiran yang dingin dan terdistansi, bola putih di balik kabut metropolitan, cahaya yang lebih sering dikenali dari ketiadaannya. Namun, di sini, ia hadir dengan intensitas yang mengejutkan, dengan kehangatan yang terlalu mendesak untuk diabaikan.
Lea mengerjapkan mata, membiarkan kesadaran merayap perlahan, mengumpulkan potongan-potongan yang membentuk realitas barunya: kayu jati di langit-langit, kicauan burung yang tak dikenalnya, aroma rempah samar yang seperti telah meresap ke dalam dinding-dinding rumah, dan—ada azan pagi. Suara azan itu menggema dari masjid tak jauh dari rumah, seperti gelombang suara yang menggulirkan waktu dengan cara yang tak dikenal Lea, membagi hari dengan ritme yang sama sekali berbeda dari ketukan metronom waktu Jepang.
Pukul lima pagi, dan rumah keluarga Rushd telah hidup. Terdengar langkah-langkah lembut di luar pintu, bisikan percakapan yang teredam, dan sesekali denting halus peralatan dapur. Lea mendapati dirinya menahan napas, mencoba menangkap setiap suara, mencoba memahami pola kehidupan rumah yang asing ini, rumah Rahmat, yang kini menerima kehadirannya dengan kehati-hatian seorang tuan rumah terhadap tamu yang belum sepenuhnya diundang.
Ia duduk di tepi tempat tidur, menyentuh lantai dengan kaki telanjang, merasakan tekstur kayu yang berbeda dari tatami apartemennya—lebih keras, lebih kokoh, seolah menuntut agar pemilik kaki menyatakan keberadaannya dengan tegas. Untuk sesaat, ia merasa asing dalam tubuhnya sendiri, seperti planet yang terlempar dari orbitnya, berusaha menemukan keseimbangan baru dalam medan gravitasi yang tak dikenal.
"Kau sudah bangun."
Rahmat berdiri di ambang pintu yang terbuka separuh, sosoknya menjadi siluet di antara tumpahan cahaya dari lorong. Ia tampak berbeda di sini, pikir Lea. Bukan fotografer National Geographic dengan agenda internasional, bukan pria kosmopolitan yang memotret Tokyo dengan mata orang asing, tapi Rahmat dalam konteksnya yang paling fundamental, putra ulama, anak Bandung, bagian dari keluarga dengan akar yang tertanam jauh ke dalam tanah tempat mereka berpijak.