Tidak Ada Salju Di Sini

Aryasuta
Chapter #35

Pendekatan - Potongan 2

Pesantren Al-Hikmah bukanlah bangunan megah seperti bayangan Lea. Tidak ada pilar-pilar marmer atau kubah emas yang berkilauan. Kompleksnya sederhana, terdiri dari bangunan dua lantai saling terhubung mengelilingi halaman tengah, dengan sebuah masjid kecil sebagai pusatnya.

Lea dan Rahmat memasuki halaman pesantren pada saat para santri, sebutan bagi murid-murid yang belajar di sana, sedang beristirahat setelah kelas pagi. Beberapa anak laki-laki berkumpul di bawah pohon mangga tua, membahas sesuatu dengan antusias dalam bahasa Arab yang Lea tak pahami. Beberapa lainnya duduk di serambi masjid, membaca kitab kuning, buku klasik Islam bersampul kuning yang terlihat tua namun dijaga dengan hati-hati.

"Bapak biasanya mengajar di sana," kata Rahmat, menunjuk ke sebuah kelas di sisi barat. "Kelas tafsir untuk santri senior. Dan itu ruang perpustakaan, tempat koleksi kitab-kitab langka milik kakek yang dikumpulkan selama hidupnya."

Lea mengangguk, mencoba memahami pemandangan di hadapannya, bukan sebagai turis yang melihat eksotika budaya asing, tapi sebagai seseorang yang mungkin suatu hari akan terhubung dengan tempat ini melalui ikatan pernikahan. Pikiran itu menimbulkan getaran aneh di tulang belakangnya, campuran kecemasan, ketertarikan, dan sensasi melayang yang tak dapat dinamai.

Para santri menatap mereka dengan penasaran, beberapa berbisik di balik telapak tangan saat menyadari bahwa perempuan asing dengan wajah oriental ini berjalan berdampingan dengan putra Kyai, sebutan untuk ayah Rahmat sebagai pemimpin pesantren. Lea merasakan tatapan-tatapan itu seperti sentuhan fisik, menilai, bertanya-tanya, mungkin juga menghakimi.

"Mereka hanya penasaran," bisik Rahmat, seolah membaca pikirannya. "Tidak setiap hari mereka melihat perempuan Jepang di sini."

Mereka terus berjalan mengelilingi pesantren, dengan Rahmat menjelaskan sejarah setiap bangunan, rutinitas para santri, dan sistem pendidikan yang menggabungkan pengajaran Islam tradisional dengan kurikulum modern. Ada kebanggaan dalam suaranya yang tak pernah Lea dengar, kebanggaan yang bercampur dengan kerinduan dan sedikit penyesalan, seperti orang yang mengakui keindahan rumah yang telah ia tinggalkan, tapi tetap mengaguminya dari jauh.

Mereka hampir menyelesaikan tur ketika seorang pria tua dengan peci hitam dan janggut putih berjalan ke arah mereka. Rahmat segera menegakkan posturnya, dan Lea merasakan perubahan halus dalam sikapnya.

"Assalamualaikum, Paman Ridwan," sapanya, mencium tangan pria tersebut dengan hormat yang membuat Lea sedikit terkejut. Ia belum pernah melihat Rahmat menunjukkan sikap seperti ini pada siapa pun di Tokyo.

"Waalaikumsalam, Rahmat. Jadi ini Lea Tanaka yang kau ceritakan," kata pria itu dengan mata bijak yang menatap Lea sedalam mungkin, terasa seperti sejarah hidupnya dibaca dalam sekejap.

"Senang bertemu dengan Anda," kata Lea, menundukkan kepala sedikit, tak yakin apakah harus menjabat tangan atau tidak.

"Begitu juga dengan saya," jawab Paman Ridwan, senyum halus mengembang di wajah keriputnya. "Rahmat sudah banyak bercerita tentang ilmuwan cerdas yang mempelajari anomali salju. Saya ingin mendengar lebih banyak tentang penelitian Anda suatu waktu."

Terdapat ketulusan dalam suaranya yang membuat Lea rileks. Paman Ridwan, sebagaimana Rahmat pernah menjelaskan, adalah penghulu yang terkenal dengan pandangan moderat, orang yang Rahmat harapkan dapat membantu mereka mengatasi rintangan agama dalam hubungan mereka.

"Paman sedang istirahat? Atau ada waktu untuk berbicara sebentar?" tanya Rahmat. "Aku ingin mendiskusikan sesuatu... penting."

Paman Ridwan tampak memahami maksud terselubung Rahmat. "Tentu. Mari ke ruang kantorku. Lebih sejuk di sana, dan ada teh yang baru diseduh."

Kantor Paman Ridwan adalah ruangan sederhana dengan jendela besar menghadap ke taman pesantren. Buku-buku tertata rapi di rak kayu tua, beberapa gulungan kaligrafi Arab menghiasi dinding, dan sebuah komputer modern tampak sedikit tidak pada tempatnya di atas meja kerja antik.

"Jadi, bagaimana kesan pertama tentang Bandung, Lea?" tanya Paman Ridwan setelah menuangkan teh untuk ketiganya.

Lihat selengkapnya