Setelah pertemuan dengan Paman Ridwan, Rahmat membawa Lea ke sebuah bukit kecil di belakang pesantren. Tempat itu tersembunyi di balik pepohonan, dengan hamparan pemandangan Bandung yang terlihat seperti lukisan di bawah mereka, atap-atap rumah, jalan-jalan berliku, dan di kejauhan, gunung-gunung berwarna kebiruan tampak memagari kota.
"Ini tempat favoritku saat kecil," kata Rahmat, duduk di atas batu besar yang tampaknya sering ia kunjungi. "Tempat persembunyianku ketika Ayah terlalu keras dengan tuntutannya, atau ketika aku butuh ketenangan untuk berpikir."
Lea duduk di sampingnya, menghirup udara pegunungan yang berbeda dari udara Tokyo, lebih kaya, lebih lembab, dengan aroma tumbuhan dan tanah yang begitu jelas.
"Tempat yang indah," katanya. "Aku bisa membayangkanmu sebagai anak kecil, kabur ke sini dengan buku atau mainan."
"Bukan mainan. Kamera," koreksi Rahmat tersenyum. "Kamera pertamaku—sebuah kamera analog tua pemberian Paman Ridwan. Aku menghabiskan berjam-jam di sini, memotret pemandangan, burung-burung, bahkan semut yang lewat."
Lea bisa membayangkannya, Rahmat kecil dengan mata yang sama tajamnya, melihat dunia melalui lensa, menemukan keindahan dalam detail yang mungkin diabaikan orang lain. Ia mendapati dirinya iri pada kejelasan panggilan Rahmat yang telah hadir sejak usia muda itu.
"Aku ingin melamarmu secara resmi, Lea," kata Rahmat tiba-tiba, menatap langsung ke matanya. "Di sini, di tempat yang sama aku memutuskan untuk pergi meninggalkan Bandung."