Bandung, kota yang terkenal dengan julukan Paris van Java, menawarkan kilasan kehidupan modern Indonesia yang tak terduga, mal-mal besar berdampingan dengan pasar tradisional, kafe-kafe trendi dihiasi dengan elemen desain lokal, dan di akhir pekan, alun-alun utama kota dipenuhi dengan berbagai acara yang mencerminkan perpaduan tradisi dan modernitas.
Hari Minggu itu, Rahmat mengajak Lea untuk menikmati sisi lain Bandung, bukan pesantren atau rumah keluarga, tapi kehidupan urban yang berdenyut dengan energi generasi muda Indonesia. Hari itu, alun-alun tengah ramai dengan acara Color Run, lomba lari santai di mana peserta saling lempar bubuk warna-warni, menciptakan pelangi manusia yang bergerak melalui nadi pusat kota.
"Ini sisi Bandung yang jarang dilihat oleh wisatawan asing," kata Rahmat sambil memotret kerumunan yang penuh semangat. "Kota ini punya banyak wajah, tradisional dan modern, religius dan sekular, semuanya berbaur dengan cara yang unik."
Lea mengamati kerumunan dengan mata peneliti, bagaimana orang-orang dari berbagai latar belakang berkumpul dalam kegembiraan bersama, bagaimana jilbab berwarna-warni berdampingan dengan pakaian kasual tanpa sekat yang terlihat, bagaimana tawa dan musik menciptakan atmosfer yang melampaui batasan-batasan formal.
"Ini mengingatkanku pada festival musim panas di Jepang," komentarnya. "Cara orang melepaskan formalitas sehari-hari dan hanya... menikmati momen bersama."
"Universal, bukan?" Rahmat tersenyum, menurunkan kameranya. "Kebutuhan manusia untuk berkumpul, merayakan, merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar."
Mereka berjalan menyusuri pinggiran kerumunan, menuju area di mana stan-stan makanan berjejer menawarkan kuliner lokal. Lea baru saja akan menunjuk sebuah stan es kelapa yang menggoda ketika ia mendengar namanya dipanggil.
"Lea? Rahmat?"
Mereka berpaling bersamaan, mendapati Bunga berdiri tak jauh dari mereka. Ia mengenakan kaos putih yang kini ternoda dengan bubuk warna-warni, jilbab sport-nya diikat rapi, dan wajahnya berseri dengan kegembiraan. Di sampingnya berdiri seorang pria yang tampak familier bagi Lea.
"Bunga!" sapa Rahmat, dengan hangat yang menyiratkan persahabatan. "Dan... Daniel?"
Lea mengerjap, kaget mengenali sosok yang tak terduga itu, Daniel Hartono, peneliti iklim Indonesia yang ia temui di Tokyo, kini berdiri dengan canggung di samping Bunga.
"Hai," sapa Daniel, sama kagetnya. "Tidak menyangka bertemu kalian di sini."
Keheningan canggung merebak untuk beberapa saat, sebelum Bunga memecahnya dengan tawa ringan yang terdengar sedikit terlalu dipaksakan. "Dunia begitu kecil, ya? Daniel sedang mengunjungi Bandung untuk konferensi di ITB, dan kami kebetulan bertemu di acara ini."
"Kalian saling kenal?" tanya Lea, matanya beralih antara Bunga dan Daniel.