Makan malam keluarga yang bercampur antara kehangatan dan ketegangan tak terucapkan menghabiskan malam terakhir di Bandung. Di meja makan panjang keluarga Rushd, berbagai hidangan tradisional tersaji, rendang yang telah dimasak selama berjam-jam, sayur lodeh dengan aroma santan yang khas, sambal terasi yang pedas menggigit, dan berbagai makanan lain yang disiapkan Aminah dengan detail yang menyiratkan cinta.
Aminah duduk di samping suaminya yang kini tampak lebih letih, seolah pertemuan dengan Lea telah menghabiskan cadangan energinya yang terbatas. Sarah duduk di samping Lea, sementara Rahmat mengambil tempat di seberangnya, bersebelahan dengan Bunga yang—atas permintaan keluarga—bergabung dalam makan malam perpisahan ini.
"Jadi," kata Abi, memecah keheningan setelah doa makan malam. "Kalian akan kembali ke Tokyo besok?"
"Ya, Pak," jawab Rahmat. "Pesawat kami berangkat pukul sebelas pagi."
"Dan kalian akan langsung... mempersiapkan pernikahan?"
Pertanyaan itu mengandung banyak lapisan, menciptakan ketegangan yang nyaris teraba di udara. Lea menunggu Rahmat menjawab, menyadari betapa pentingnya pemilihan kata-kata saat ini.
"Kami akan mempersiapkannya dengan matang, Pak," kata Rahmat hati-hati. "Dengan penuh pertimbangan dan penghormatan terhadap dua kepercayaan kami."
"Di Tokyo?" tanya Aminah, suaranya lembut namun ada kesedihan di sana.
"Ya, Bu. Karena... itulah pilihan terbaik untuk situasi kami."
Lea memerhatikan bagaimana Aminah menatap suaminya, komunikasi tanpa kata terjadi dalam sekejap mata—tentang kekecewaan, tentang penerimaan, dan tentang pilihan-pilihan sulit yang harus dibuat orang tua ketika anak mereka mengambil jalan yang berbeda.
"Dan kalian tidak akan mengundang keluarga?" tanya Abi, kini suaranya lebih lemah.