Malam itu, setelah makan malam, Lea duduk di tepi tempat tidur di kamar tamu, menatap cincin barunya yang menangkap cahaya lampu dengan cara yang magis. Di tangannya, ponsel berdering untuk ketiga kalinya, nama mamanya muncul di layar, menuntut perhatian yang tak bisa lagi ia tunda.
"Halo, Ma," jawabnya, berusaha terdengar tenang meski dengan jantung berdetak cepat.
"Lea," suara Martha terdengar cemas. "Akhirnya kau menjawab. Aku khawatir karena kau tidak menelepon sejak kemarin."
"Maaf, Ma. Kami... sibuk mengunjungi banyak tempat."
"Bagaimana keadaan di sana? Keluarganya memperlakukanmu dengan baik?"
"Ya, Ma. Mereka sangat baik dan menghormati."
Ada jeda singkat, sebelum Martha melanjutkan dengan suara yang lebih hati-hati. "Lea... Sarah baru saja mengirimiku pesan. Dia mengabarkan tentang... rencana pernikahan kalian."
Lea merasakan detak jantungnya berhenti sejenak. Ia tidak tahu Sarah telah berbicara dengan mamanya, mungkin komunikasi yang dibangun sejak mereka berkenalan melalui panggilan video beberapa bulan lalu.
"Ma, aku bisa menjelaskan…"
"Apakah ini keputusan yang kau ambil dengan matang, Lea?" potong Martha, suaranya gemetar. "Atau kau hanya terbawa suasana?"
"Ini keputusan yang kami pikirkan dengan sangat matang, Ma," jawab Lea, berusaha terdengar lebih yakin dari yang ia rasakan. "Kami akan menikah di Tokyo, dengan upacara sederhana yang menghormati dua kepercayaan kami."
"Dan apa kata keluarganya? Mereka menyetujui?"
"Mereka... berusaha memahami, seperti aku harap Mama juga akan berusaha memahami."