Tidak Ada Salju Di Sini

Aryasuta
Chapter #41

Pendekatan - Potongan 8

Hokkaido di awal musim semi memiliki pemandangan yang menakjubkan, ladang salju membentang sejauh mata memandang, danau beku menciptakan cermin alam yang memantulkan langit, dan gunung-gunung tertutup jubah putih yang hampir tidak pernah menghilang sepanjang tahun.

Bagi Lea, pemandangan ini adalah gabungan dari profesional dan personal, data visual yang mendukung penelitiannya tentang anomali salju di Tokyo, sekaligus keindahan yang mengingatkannya pada masa kecil bersama ayahnya. Bagi Rahmat, ini adalah surga fotografi, kontras yang dramatis, cahaya yang bermain di permukaan salju, dan narasi visual tentang kehidupan yang bertahan dalam kondisi ekstrem.

Mereka menghabiskan tiga hari di sebuah penginapan tradisional Jepang, ryokan dengan pemandian air panas pribadi yang menghadap ke pegunungan. Di siang hari, mereka menjelajah kawasan sekitar, dengan Lea mengambil sampel salju untuk penelitiannya dan Rahmat mendokumentasikan setiap momen dengan kameranya. Di malam hari, mereka berendam dalam air panas, berbagi mimpi dan harapan di bawah langit berbintang yang jarang terlihat di Tokyo.

"Aku ingin memotret dunia bersamamu," kata Rahmat suatu malam, saat mereka berbaring dalam futon yang digelar berdampingan. "Dari kutub hingga khatulistiwa, dari gurun hingga hutan hujan, dari perkotaan hingga pedesaan. Aku ingin mendokumentasikan bagaimana manusia beradaptasi dengan perubahan iklim di seluruh penjuru bumi."

"Proyek ambisius," komentar Lea, jemarinya bermain di dada Rahmat. "Tapi sangat selaras dengan penelitianku. Data dan narasi visual, berdampingan."

"Seperti kita," tambah Rahmat tersenyum. "Dua pendekatan berbeda untuk memahami dunia yang sama."

"Dan bagaimana dengan anak-anak?" tanya Lea, pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirnya. "Apakah kita akan memilikinya suatu hari nanti?"

Rahmat terdiam sejenak, jarinya membelai lembut pipi Lea. "Tentu," jawabnya. "Anak-anak yang akan dibesarkan untuk memahami dan menghargai kedua dunia kita. Anak-anak yang akan tumbuh dengan kekayaan dua tradisi, dua budaya, dua cara memandang dunia."

"Dan dua agama?" tanya Lea hati-hati.

"Dua sistem nilai," koreksi Rahmat lembut. "Dua pandangan yang mungkin berbeda dalam detail, tapi serupa dalam esensi, tentang kebaikan, tentang kasih sayang, dan tentang penghormatan terhadap kehidupan."

Lea mengangguk, merasakan kelegaan dalam jawaban Rahmat. Membesarkan anak dalam dua tradisi agama akan menjadi tantangan tersendiri, tapi seperti semua hal dalam hubungan mereka, mungkin justru dalam perbedaan itulah kekayaan tersembunyi.

"Berapa banyak?" tanyanya, melanjutkan topik.

"Anak?" Rahmat tertawa kecil. "Entahlah. Satu? Dua? Kau yang akan mengandung dan melahirkan mereka, kau yang sebaiknya memutuskan."

"Hmm," gumam Lea, membayangkan dirinya sebagai ibu, sebuah peran yang belum pernah ia pertimbangkan secara serius sebelumnya. "Mungkin dua. Agar mereka memiliki satu sama lain, seperti aku memiliki Mario."

"Aku suka gagasan itu," kata Rahmat tersenyum. "Dan aku berjanji untuk menjadi ayah yang lebih fleksibel daripada ayahku."

"Dan aku berjanji untuk tidak terlalu analitis sebagai ibu," balas Lea.

Mereka tertawa bersama, lalu tenggelam dalam keheningan yang nyaman, menikmati kedekatan fisik dan emosional yang merupakan hadiah dari status baru mereka sebagai pasangan suami istri.

Pada hari keempat, saat mereka bersiap kembali ke Tokyo, Lea merasakan mual yang aneh saat sarapan, perasaan yang ia asumsikan sebagai efek dari terlalu banyak variasi makanan Jepang yang ia makan selama di Hokkaido.

Lihat selengkapnya