"Apa?" suara Martha tercekat, matanya melebar, bibirnya bergetar. "Kau hamil, Lea?"
Lea mengangguk, tangannya secara tidak sadar bergerak ke perutnya dalam gestur protektif. "Enam minggu, Ma."
Apartemen Martha yang kecil terasa lebih sesak dari biasanya, atau mungkin hanya perasaan Lea. Udara terasa lebih berat, sarat dengan ekspektasi dan pertanyaan yang belum terucapkan. Foto ayahnya di dinding seolah mengawasi dengan mata yang waspada.
"Ya Tuhan," bisik Martha, tangannya menutup mulut. Air mata mulai menggenang di matanya, campuran kebahagiaan dan sesuatu yang lebih kompleks. "Seorang cucu. Hirofumi pasti sangat bangga."
Nama ayahnya, ilmuwan yang meninggal terlalu cepat, mengirimkan gelombang emosi yang tak terduga pada Lea. Bagaimana ayahnya akan menyikapi situasi ini? Pernikahan putrinya dengan seorang Muslim, sekarang cucu yang akan lahir di persimpangan dua agama?
"Bagaimana keadaanmu? Dokter bilang apa?" Martha berpindah ke mode praktisnya, sesuatu yang selalu dilakukannya saat menghadapi berita besar.
"Baik, hanya... beberapa hal yang perlu diwaspadai," jawab Lea, memutuskan untuk tidak memberikan detail terlalu banyak. "Kami hanya perlu ekstra hati-hati."
Martha mengangguk, matanya menyipit sedikit, tanda bahwa ia menyadari putrinya menyembunyikan sesuatu, tapi memutuskan untuk tidak mendesaknya saat ini. "Dan... Rahmat?"
"Dia sangat senang," jawab Lea tersenyum, mengingat ekspresi takjub di wajah suaminya saat melihat hasil tes kehamilan. "Dan sangat protektif. Tadi pagi dia melarangku mengangkat keranjang cucian."