Tidak Ada Salju Di Sini

Aryasuta
Chapter #47

Kembali - Potongan 6

"Tekanan darahmu kembali turun," kata Dokter Konosuke, matanya tidak meninggalkan monitor yang menampilkan data Lea. "Dan pola tidurmu terganggu? Insomnia?"

Lea mengangguk, berusaha tidak melihat ke arah Rahmat yang duduk di sudut ruangan dengan wajah cemas. Telah dua bulan sejak diagnosa kehamilan risiko tinggi, dan setiap kunjungan ke dokter semakin memperkuat fakta bahwa tubuh Lea tidak menangani kehamilan ini dengan baik.

"Apakah ada stres yang kau alami?" tanya dokter, kini menatap Lea langsung.

Lea hampir tertawa. Stres? Tentu saja ada. Laboratoriumnya menuntut kemajuan dalam penelitian yang tertunda karena kehamilan. Mamanya terus membeli perlengkapan bayi dengan simbol-simbol Kristiani—salib kecil, malaikat, dan gambar Bunda Maria—yang membuatnya semakin gelisah setiap kali mengunjungi apartemen Martha. Telepon dari keluarga Rahmat yang selalu berakhir dengan pertanyaan tentang kembali ke Indonesia. Visa Rahmat yang semakin mendekati batas akhir. Ketakutan akan masa depan yang tidak pasti.

"Sedikit," jawab Lea, meremehkan.

Dokter Konosuke menatapnya lama, jelas tidak mempercayai jawabannya. "Rushd-san, sebagai doktermu, aku perlu kau jujur. Stres dapat serius memengaruhi kehamilan dengan risiko tinggi seperti milikmu."

Lea menelan ludah, menghindari tatapan dokter. "Hanya... tekanan normal. Pekerjaan, keluarga."

"Pernikahan beda budaya dan agama juga dapat menjadi sumber stres tambahan," kata dokter, nadanya profesional namun ada pemahaman di sana. "Apalagi saat menghadapi keputusan tentang bagaimana membesarkan anak."

Lea menoleh tajam. "Bagaimana Anda tahu tentang…"

"Aku telah menangani banyak pasangan seperti kalian selama karirku," jawab dokter tenang. "Dan aku melihat pola yang sama, pertanyaan yang sama, kekhawatiran yang sama. Terutama di trimester kedua, saat realitas menjadi semakin nyata."

Rahmat bergeser dari kursi, matanya bertemu dengan Lea dalam diam yang penuh arti.

"Rekomendasiku?" lanjut dokter, nada suaranya menjadi lebih lembut. "Kurangi stres sebanyak mungkin. Istirahat yang cukup. Dan mungkin... pertimbangkan untuk mendapatkan dukungan yang lebih besar. Keluarga, teman, atau komunitas yang memahami situasi kalian."

Kata-kata dokter bergema dalam pikiran Lea dan Rahmat sepanjang perjalanan pulang. Mereka berdampingan di trotoar Tokyo yang ramai, bergerak seperti dua tupai kebingungan di tengah lautan manusia yang bergegas. Langit semakin gelap, awan-awan rendah berjanji akan hujan yang tak kunjung datang, sama seperti salju yang tak kunjung turun di Tokyo setelah ciuman pertama mereka.

"Lea," ujar Rahmat angkat bicara akhirnya, saat mereka melewati sebuah gereja kecil di sudut jalan. "Mari masuk sebentar."

Lea menatapnya bingung. "Ke gereja?"

"Ya," jawab Rahmat mengangguk, matanya memandang lama bangunan mungil bergaya Eropa itu, satu-satunya struktur non Jepang di deretan bangunan modern. "Kau sudah lama tidak pergi, bukan?"

"Sejak..." Lea berhenti, menyadari bahwa ia tidak lagi mengingat kapan terakhir kali ia memasuki gereja untuk berdoa. Mungkin Natal dua tahun lalu? Atau bahkan lebih lama?

"Kupikir... mungkin kau ingin berdoa," kata Rahmat hati-hati. "Dengan caramu sendiri."

Lihat selengkapnya