Surat pengunduran diri itu tergeletak di atas meja Lea seperti seekor burung mati, selembar kertas putih dengan tinta hitam yang menandai akhir dari satu kehidupan dan awal kehidupan lain yang lebih tidak pasti. Lea memandanginya lama dengan jari menyusuri tulisan yang telah ia revisi tujuh kali. Kata-kata yang terlalu formal, terlalu kaku untuk mengungkapkan seluruh beban keputusan yang ia buat. Dengan ini saya, Lea Tanaka, mengajukan pengunduran diri dari posisi Peneliti Senior di Departemen Klimatologi Universitas Tokyo, efektif mulai...
Di luar, langit Tokyo menggantung rendah dan kelabu, seolah kota itu sendiri merasa sedih akan kepergiannya. Enam tahun penelitian, tiga konferensi internasional, dan dua gelar doktor, berapa banyak malam yang ia habiskan di laboratorium ini? Berapa banyak pagi yang ia sambut dengan mata merah di depan layar komputer yang sama? Ruang yang kini tampak asing.
"Kau tidak perlu melakukan ini," kata Profesor Watanabe, berdiri di ambang pintu laboratorium dengan tangan terlipat di depan dada. Pria tua itu, mentor yang hampir seperti ayah kedua baginya, menatap Lea dengan mata yang penuh pengertian namun juga kesedihan. "Universitas bisa memberikan cuti panjang. Kau bisa kembali setelah... setelah semuanya lebih stabil."
Stabil. Kata yang begitu relatif. Terdengar seperti menaruh sebutir pasir di atas ujung jarum dan berharap ia tetap di sana meski angin bertiup.
"Kita berdua tahu itu tidak realistis, Profesor," jawab Lea tersenyum tipis, tangannya secara otomatis menyentuh perutnya yang semakin membuncit. "Hidup tidak akan pernah sama lagi."