Rahmat menatap layar laptopnya, jari-jarinya mengetuk gugup di atas meja. Wajah ayahnya terpampang dalam panggilan video, mata yang sama dengan miliknya, tapi dihiasi kerutan-kerutan usia dan pengalaman. Abi Sina tampak lebih kurus dari terakhir kali mereka berbicara, janggut putihnya lebih panjang, dan matanya tenggelam lebih dalam.
"Jadi, kau akan pulang," ucap Abi, bukan bertanya tapi menyatakan. Suaranya, suara yang dulu penuh wibawa dan ketegasan, kini terdengar lebih lembut seakan dilemahkan oleh penyakit dan mungkin juga waktu.
"Ya, Bapak. Minggu depan," jawab Rahmat. "Lea... kondisinya memerlukan dukungan keluarga. Dokter menyarankan untuk mengurangi stres."
"Dan kau pikir membawanya ke sini akan mengurangi stres?" Ada nada ironis dalam suara Abi, tapi tanpa kekerasan yang biasa. "Ke tempat di mana dia akan menjadi asing? Di mana agamanya minoritas?"
"Saya tahu ini tidak mudah, Pak. Tapi kami sudah memutuskan."