Sunyi!
Sepi!
Tidak ada satu suara pun yang terdengar di telinga Anindya. Nafas yang mulai terasa berat dengan tangan yang gemetaran sambil memegang ponselnya, Anindya mengerutkan alisnya.
Terlihat sebuah pesan di layar ponselnya, yang tertulis:
“Mbak, Mas Ardi jadi menikah dengan Marni hari ini. Aku tau Mbak enggak akan balas pesan ini, tapi aku tetap mau Mbak tau. Semoga Mbak dan Anak-anak sehat ya.”
“Memangnya aku peduli?” ucap Anindya lirih sambil mematikan ponselnya.
“Hah? Apa Mbak? Kok Mbak bilangnya gitu? Ya memang ini masalah aku, tapi Mbak jangan respon kayak gitu dong. Jahat banget bilangnya ‘mimingnyi aki pidili’… jahat, Mbak!”
“Eh Mbak, maaf, bukan gitu maksudku. Aku enggak bermaksud ngomong gitu, aku ini lagi… anu… itu.”
“Halah Mbak, saya kecewa beli gorengan di sini,” kata salah satu pelanggan Anindya, langsung pergi sambil mengomel.
Anindya menatap punggung pelanggan itu. Punggung yang menjauh sama seperti punggung suaminya dulu. Pergi tanpa menoleh, meninggalkan dia dan anak-anak dengan beban yang tak terbagi.
Sebelas tahun pernikahan Anindya Janna dan Ardinan Bumantara berakhir setelah pengkhianatan. Ardinan, lelaki yang pernah ia percayai sepenuh hati, memilih wanita lain—sekretarisnya sendiri, Marni Astaguna. Kini Anindya harus membesarkan ketiga anak mereka seorang diri: Angkasa, Aurora, dan Aksara.
Tiga bulan sejak perceraiannya, Anindya mencari cara agar dapur tetap berasap. Ia berdiri di depan gerobak gorengan butut, memeras keringat menjajakan bakwan, tahu isi, tempe mendoan, dan pisang goreng di depan sebuah sekolah dasar.
Mereka pindah dari rumah yang dulu terasa hangat dan nyaman, ke kontrakan sempit tiga petak. Di rumah lamanya, suara tawa anak-anak bergema di ruang tamu luas yang kini dihuni orang lain. Di kontrakan barunya, tawa anak-anak itu sering tertelan suara hujan yang menetes dari atap bocor.
Sebelas tahun lamanya, Anindya hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga. Ia memasak, mencuci, menyiapkan pakaian, mendidik anak-anak. Semua itu dianggap tak bernilai. Pada akhirnya, ia diceraikan dengan alasan yang kejam: tidak membantu suami, tidak mendengarkan perkataan suami, tidak melayani suami dengan baik.
Padahal, satu-satunya kesalahan nyata dalam rumah tangga mereka hanyalah pengkhianatan Ardinan sendiri.
Yang menyakitkan bukan hanya perselingkuhan itu, tapi juga kenyataan bahwa perceraian datang dari gugatan Ardinan. Anindya tidak pernah sekalipun berpikir untuk berpisah. Hatinya hanya meminta satu hal: suaminya berhenti berselingkuh dan kembali menjadi ayah bagi anak-anak.
Namun apalah daya, Anindya hanyalah seorang ibu rumah tangga. Tidak punya kuasa, tidak punya harta, tidak punya suara. Keinginannya hanya terhenti di dalam dada, tak pernah sampai ke telinga siapa pun.
Kini, yang tersisa hanyalah kenyataan pahit:
Harapannya sudah habis.
Cita-cita rumah tangga bahagia hancur.
Yang tersisa hanyalah kewajiban untuk bertahan hidup.
Dengan keringat, air mata, dan entah berapa luka di hati, Anindya merangkak di bukit berduri kehidupan. Demi siapa? Demi ketiga anaknya.