Tangisan bayi memecah keheningan ruang bersalin. Suara mungil itu membuat dada Anindya bergetar, seolah semua lelah dan sakit yang ia rasakan lenyap dalam sekejap. Wajahnya pucat, peluh bercucuran, namun senyumnya mengembang ketika perawat meletakkan bayi merah itu di pelukannya.
“Ini adik kalian,” bisik Anindya dengan suara serak, menatap si kecil yang baru saja lahir. “Selamat datang di dunia, Aksara Bumantara.”
Ardinan berdiri di samping ranjang, matanya berkaca-kaca. “Kamu hebat sekali, Nin,” katanya sambil mengecup kening istrinya. Lalu dengan penuh kebanggaan ia mengelus kepala bayi mungil itu. “Akhirnya kita lengkap.”
Tak lama kemudian, pintu terbuka. Angkasa berlari masuk, disusul Aurora dengan langkah kecilnya. Mata mereka membulat penuh rasa penasaran.
“Mamaaa!” pekik Angkasa. “Itu adik ya? Aku mau gendong!”
Aurora ikut mengangkat tangannya. “Aku dulu! Aku dulu yang gendong!”
Perawat tersenyum geli. “Eits, pelan-pelan. Adik masih kecil sekali. Harus gantian, ya.”
Aurora manyun, tangannya terulur. “Tapi aku kakaknya juga… aku juga mau!”
Ardinan tertawa, lalu menunduk mendekati putrinya. “Kakak Aurora bisa gendong nanti, kalau adik sudah lebih kuat. Sekarang biar Kak Angkasa duluan, ya.”
Angkasa dengan hati-hati duduk di kursi samping ranjang, kedua tangannya dibimbing perawat. Bayi mungil itu diletakkan di pangkuannya. Mata Angkasa berbinar, seolah ia memegang seluruh dunia.
“Papa… dia kecil banget,” katanya pelan. “Kalau aku nyubit sedikit aja, dia sakit ya?”
Anindya tersenyum hangat. “Iya, Nak. Adik masih rapuh. Makanya kamu harus jadi pelindung buat adik-adikmu.”
Aurora yang berdiri di samping kursi ikut menyentuh jari mungil Aksara. “Adik genggam aku, Ma! Lihat, dia genggam aku!”
Semua orang tertawa, memenuhi ruangan dengan kehangatan yang tak terlupakan. Hari itu, keluarga Bumantara terasa sempurna.
Hari itu adalah salah satu kenangan paling indah yang pernah Anindya miliki, sebuah potongan kecil dari masa lalu yang masih menempel kuat di hatinya. Tapi kebahagiaan itu kini hanya tinggal cerita.
Tiba-tiba seekor cicak jatuh dari langit-langit dan hampir mengenai wajahnya. Tubuh Anindya langsung merinding hebat, bulu kuduknya berdiri seketika. Ia buru-buru menyingkir, napasnya tersengal, seolah kejatuhan itu telah menghapus bayangan manis yang baru saja ia ingat.
Kontrakan kecil tiga petak itu sunyi, hanya suara kipas angin berdecit pelan yang menemani. Anindya menoleh ke samping. Anak-anaknya masih terlelap, bergelung di bawah selimut tipis. Angkasa meringkuk sambil memeluk bantal, Aurora tidur dengan mulut sedikit terbuka, dan Aksara menyusu jari mungilnya, sesekali mengeluarkan bunyi lirih.
“Besok lagi kerja keras, Nin,” gumamnya pada diri sendiri, mencoba menenangkan jantung yang berdetak kencang.
Malam itu terasa panjang. Namun, waktu selalu berjalan, entah Anindya siap atau tidak.
Pagi menjelang. Matahari belum tinggi, tapi Anindya sudah berkutat di dapur mungilnya. Asap tipis mengepul dari penggorengan berisi tempe goreng, sementara panci kecil di sebelahnya mendidih dengan air untuk membuat mie instan.