“Raina, tolong dipikir lagi, Nak. Ibu dan Paman sudah bicara untuk kebaikan masa depan kamu. Kata Paman, kamu honorer dulu di Batola agar bisa diangkat jadi CPNS. Lepaskan tawaran magang tidak jelas itu! Jangan sampai kamu menyesal.”
Tidak ada metafora yang pantas untuk menggambarkan suasana hati perempuan bermata sendu itu selain ‘panas. Selagi bergeming di depan meja prasmanan yang menyajikan beragam pilihan penganan khas Indonesia, batinnya tidak tenang. Perempuan itu lantas bergerak menyisir tepian meja dan tangannya asal saja mencomot hidangan yang selintas lewat dalam pandangan. Sementara dalam hati, dia gelisah memenuhi janji pada diri sendiri agar tidak terlarut dalam keraguan. Pilihan sudah ditetapkan hingga dia bosan pada topik yang selalu diungkit oleh sang ibunda setiap kali mereka berbicara via telepon. Raina harus kerja ini setelah lulus. Raina harus PNS dulu sebelum menikah. Raina harus begini, begitu, seolah-olah dia tidak punya hak menjalani hidupnya sendiri. Ancaman restu dari ibunda yang takkunjung diperoleh memang menakutkan, tetapi dia sudah 24, saatnya untuk mandiri dan punya prinsip. Jika terus-terusan diatur seperti anak kecil, ke depannya dia ingin menjadi apa?
“Babi.”
Raina menoleh untuk mencari tahu siapa yang baru saja berkata demikian seolah menimpali isi kepalanya yang siap meledak. Ketika sadar orang itu adalah sang kepala HRD, Raina terdiam. Pak Anugerah memang tidak menyukainya sejak pertemuan pertama. Namun, bukan sebab itu saja. Kesegaran aroma jeruk yang datang entah dari mana membuainya sesaat hingga lambat bereaksi.
“Apa, Pak?”
“Lemper yang kamu pegang itu, isinya babi. Kamu mau makan itu?”
Sialan, eh, astagfirullah. Raina taruh kembali kudapan yang tak sengaja dia ambil ke piring saji. Pak Anugerah mengamati dengan tatapan mencela, lalu lelaki itu beringsut ke seberang meja.
“Pak, tahu dari mana?” Raina terdorong untuk mengikuti. Raut wajahnya memancarkan kebingungan.
“Saya biasa makan, kok. Kesukaan Dokter Kartika. Makanya dipesan tiap kali ada acara klinik.” Lelaki itu menjawab datar, tetapi efeknya terasa membakar di lidah Raina. Gadis itu menelan ludah dengan mata terbelalak untuk meredakan keterkejutan. Namun, kecurigaan Raina terbit tatkala dia melirik piring di tangan Pak Anugerah yang penuh oleh lemper. Bisa saja itu cuma akal-akalan Pak Anugerah untuk berebut makanan dengannya. Bisa saja urusan lemper menjadi panjang jika diskusi mereka berlanjut ke ruang HRD.
“Enggak usah berterima kasih sama saya. Sudah tugas saya meluruskan kamu ke jalan yang benar,” lanjut lelaki itu tanpa mengindahkan ekspresi keberatan milik Raina. Pak Anugerah selalu punya pernyataan yang tepat untuk membungkamnya. Dengan sorot mata mengusir, dagu lelaki itu terangkat, hingga Raina sadar bahwa dia telah menghalangi jalur keluar Pak Anugerah yang kini terjepit di antara dinding, meja, dan dirinya.