Tidak Apa-apa Tidak Sempurna

Ravistara
Chapter #3

Hijab

“Mana koper Dokter?” 

Di antara sekian banyak hal, Raina bingung kenapa pertanyaan itu yang justru ditanyakan kepadanya. Terdengar gelak tawa dari arah samping. Ada orang lain di ruangan besar itu, tentu saja, dan sepemikiran dengannya. Seorang perempuan yang Raina taksir memiliki usia sebaya dengannya, berwajah oriental menarik, dan rambut panjang lurus, tampak tidak mampu menahan rasa geli di wajah. Tombol waspada dalam diri Raina langsung menyala ketika bibir perempuan itu malah mengulas senyum yang lebih mirip seringai–bibirnya tertarik tipis, tetapi matanya tidak.

Ono-ono wae, Pak Gege enggak sekalian tanya oleh-oleh?” sindirnya dengan logat Jawa kental. 

Ngawur!” Lelaki itu membalas takkalah medok dalam nada bas  yang sesaat mampu mengacaukan irama jantung. “Saya cuma khawatir ada kejadian kayak Dokter Elly. Kopernya tercecer di bandara.”

“Dokter Elly kena jetlag, Pak Gege. Pesawatnya terjebak badai. Masih untung dia selamat.”

Kedua orang itu berdebat, sementara Raina bergeming di tempat. Syukurlah mereka tidak berbicara bahasa Jawa sepanjang waktu karena dia hanya paham sedikit-sedikit. Namun, perbincangan dua arah itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan tamat jika Raina tidak bertindak nekat bagai wasit yang lantas meniup peluit. 

“Koper saya aman di bawah. Apakah saya boleh kembali ke bimbingan Dokter Carissa, Pak?”

Pelan saja permintaan Raina, tetapi berhasil membuat keduanya tertegun. Lawan bicara Pak Gege yang masih belum diketahui namanya itu pun berdeham. “Ono-ono wae. Lupa, saya. Silakan Pak Gege urus dulu Dokter Anggraina. Saya enggak mau ikut campur.” Perempuan itu lantas mengisi waktu di mejanya sambil bermain gawai. Raina membatin. Baru kali ini dia bertemu perempuan sejudes itu, seolah-olah keberadaan Raina menghabiskan jatahnya untuk bernapas.

“Kita belum selesai bicara. Silakan duduk, Dokter Raina.” Pak Gege yang belum Raina ketahui nama lengkapnya, memberi isyarat tegas ke arah kursi di seberangnya. Raina mengangguk untuk menghargai perhatian lelaki itu dan membalasnya dengan sebuah senyuman. Dia menyeberangi ruangan dan melewati meja perempuan tadi–yang kini sedang mengulum bibir sambil fokus menatap layar untuk mengabaikan dirinya. Namun, balasan yang dia terima jauh dari kata pantas. Lelaki itu memasang wajah datar hingga Raina bagai sedang tersenyum pada angin lalu. Bibirnya pun tertekuk layu.

“Dokter Anggraina.” Raina merasa sikap lelaki itu aneh. Pak Gege mengucapkan namanya tak cukup sekali, seakan-akan sedang bersiap untuk mengatakan sesuatu yang buruk. Raina berusaha meraba-raba sesuatu.

“Kenapa saya dipanggil, Pak?” tanya Raina heran. Suasana terasa canggung tatkala lelaki itu takkunjung memberi jawaban. Sebaliknya, mata Pak Gege terfokus pada sepasang tangannya yang menggenggam di atas meja. Tak perlu menjadi lulusan psikologi agar Raina tahu bahwa Pak Gege tampaknya sedang berpikir keras. Perihal yang akan mereka bicarakan tentu amat serius. 

Tatapan lelaki itu lantas terangkat, tetapi bukan jatuh pada wajah Raina, melainkan bagian tubuhnya yang lain. Kekhawatiran Raina seketika terbit. Gadis itu refleks menyilangkan tangan di depan dada untuk menghilangkan ketidaknyamanan akibat tatapan intens Pak Gege. 

Lihat selengkapnya