Tidak Apa-apa Tidak Sempurna

Ravistara
Chapter #4

Gagal

Kembali pada episode lemper. Raina pikir, dia telah berhasil menghindar sejauh mungkin dari Pak Anugerah yang kini sedang menikmati kudapan kesayangannya bersama Dokter Kartika. Sejak perempuan pendiri perusahaan Rumah Cantik Kartika itu tiba di klinik, Pak Anugerah seolah tak pernah lepas darinya, kecuali saat peristiwa langka macam tadi. Mestinya, Raina merasa sedikit tersanjung manakala Pak Anugerah bersedia repot-repot memperingatkannya segala. 

Jelas, tidak. Pak Anugerah pasti bukan sedang ingin berbagi lemper isi apa pun karena lelaki itu sebetulnya mencari muka dengan cara mempersembahkannya pada Dokter Kartika. 

Tidak tahu malu. 

Raina sendiri heran kenapa dia merasa agak marah sekarang. Pasti bukan gara-gara lemper. Pasti karena sebab lain dan perasaan itu meledak begitu saja ketika Raina menengok sekali lagi ke dalam. Di pusat aula yang kini terang-benderang oleh nyala lampu di banyak titik, Pak Anugerah tampak sedang tertawa lepas bersama seorang perempuan paruh baya. Lelaki itu mungkin tidak sadar diri bahwa dia sama sekali berbeda level–secara harafiah–dengan Dokter Kartika yang bertubuh menjulang. Pak Anugerah hanya sejengkal lebih tinggi dari Raina yang bahkan tidak sampai seratus enam puluh. Lelaki itu dan Dokter Kartika lebih cocok disebut ibu dan putra. 

Apa, sih, yang Dokter Kartika sukai dari Pak Anugerah sehingga keduanya demikian akrab? Tidak ada hal istimewa dari wajah lelaki itu yang tidak bisa disebut jelek, apalagi ganteng. Secara fisik, nilainya pas-pasan 7 dari 10. Itu pun lebih karena faktor tubuhnya yang atletis, meskipun agak gempal. Rambutnya yang dipotong teramat pendek hingga ke akar juga menegaskan bahwa dia orang keras kepala yang penuh ambisi dan emosional. Pak Anugerah yang sedang bersama Dokter Kartika sekarang bagai versi jinak dari Pak Anugerah yang menyekap Raina di ruang HRD untuk evaluasi. Pak Anugerah tidak pernah tersenyum, apalagi tertawa di hadapannya. Oomenyusun daftar yang lebih panjang jika dibiarkan bersenang-senang lebih lama di depan pintu aula dekat tangga. Raina tidak bisa lebih jauh dari itu karena sebuah alasan. Dokter Carissa berjalan menuju ke arahnya dengan langkah tergesa hingga snelli di atas lutut perempuan itu berkibar mempertontonkan sepasang kaki jenjang yang dibungkus oleh rok span pendek. Dokter Carissa kira-kira seusia Pak Anugerah, masih lajang, dan tentu saja memesona. 

“Jangan jauh-jauh, Raina. Kamu dapat tugas menginjeksi Dokter Kartika sebentar lagi.”

“Eh?”

Reaksi yang dia tunjukkan sungguh tidak profesional. Namun, Raina tidak peduli. 

“Dok, kenapa harus saya?” Ketiga rekannya kebagian tindakan yang lebih keren. Mereka diperbolehkan untuk memegang instrumen yang lebih canggih, tetapi dia hanya memperoleh jarum suntik. Tugas itu sama saja dengan tugas perawat, tidak perlu dia segala untuk turun tangan. 

“Raina.” Ekspresi Dokter Carissa mengeras sehingga Raina khawatir make up tebal di wajahnya retak-retak. “Ada saat di mana kamu tidak bisa menolak tindakan yang diminta sama pasien. Suka tidak suka, kamu harus tetap melayani dengan sepenuh hati. Dokter Kartika sendiri yang meminta, Raina.”

“Baik, Dok.” Raina mengangguk kendati enggan. Meskipun tugas itu terdengar mudah, tetapi cara Dokter Carissa memintanya terasa serius. Bagaimanapun, dia akan menginjeksi orang nomor satu di Rumah Cantik Kartika. Tidak boleh ada kata gagal.

Semua orang berkumpul di aula menunggu kehadirannya. Raina bahkan melihat Ibu Lilian hadir di antara para beautician. Perempuan itu masih sebaya dengannya, tetapi Raina terpaksa memanggilnya secara formal. Pak Anugerah sendiri yang memerintahkan dan lelaki itu berdiri di sisi ranjang yang sudah ditempati oleh Dokter Kartika. Tatapan mereka berserobok sekilas. Raina bertanya-tanya apakah memantau pelaksanaan training juga termasuk tugas HRD. Namun, ketika Pak Anugerah dan Ibu Lilian sama-sama mengeluarkan kamera untuk dokumentasi, Raina pun sadar bahwa kehadiran keduanya saat itu bukan sekadar aksesori. Seketika asam lambungnya bergejolak. 

Lihat selengkapnya