Tidak Apa-apa Tidak Sempurna

Ravistara
Chapter #5

Obsesi

“Dokter Raina, pasien ....” Suara mendayu itu, seseorang bagai bernyanyi merdu memanggil namanya. Ayu melongokkan kepala ke dalam ruang sempit berukuran 2 x 4 yang disebut basecamp, di mana Raina dan ketiga rekannya sedang beristirahat di dalam. 

 ”Pasien apa, Mbak?” Raina waswas demi melihat mata Ayu yang berkedip dengan cepat. Raina sudah hafal dengan bahasa tubuh Ayu yang mencurigakan.

 ”Pasien Dokter Carissa, infus. Dokter Carissa sedang mengerjakan laser, jadi Dokter Raina saja yang tindakan, ya?”

Kabar buruk. Kasus Dokter Kartika tempo hari menjadi pukulan telak bagi Raina. Dia bertekad bahwa kegagalan tersebut akan menjadi yang terakhir kalinya di Rumah Cantik Kartika. Namun, Dokter Carissa seakan ingin menghukum Raina seumur hidup. Tindakan infus atau suntik putih semua diserahkan kepadanya hingga membeludak. Dalam satu hari, antreannya kian memuncak. Salah-salah, Raina bakal lebih dikenal sebagai dokter suntik putih daripada konsultan perawatan kulit. 

“Baiklah.” Dia bisa apa? Raina keluar diiringi oleh cengar-cengir rekannya. Mereka harus berterima kasih karena dia bersedia menjadi tumbal untuk menuntaskan tugas tersebut. Ketika Raina kembali dua puluh menit kemudian, mereka malah asyik berpesta nasi krawu. Raina mengernyitkan hidung. Aroma terasi menguar tajam di udara. 

“Nih, oleh-oleh dari Dokter Cindy. Dia baru pulang promosi di Gresik.” Yenni menawari dengan bibir belepotan minyak. Dokter Cindy senior mereka. Sesama karyawan di RCK memang biasa membawakan oleh-oleh tiap kali pergi ke suatu tempat, lalu membagi-bagikannya bak sembako. Raina pun menemukan jejak berupa empat kotak plastik kosong di atas meja. Entah siapa yang memakan jatah miliknya. Bukannya berprasangka buruk, pasti mereka lupa akan keberadaan dirinya lantas khilaf.

“Aku enggak punya permen karet mint. Buat kalian saja.” Raina seolah mengingatkan mereka untuk menutupi aroma makanan tersebut atau mereka akan kena tegur. Taruhannya adalah nama klinik. Jika ada pelanggan protes dan terdengar sampai ke pihak atas, maka Pak Anugerah dengan senang hati akan membeberkan dosa mereka di hadapan semua orang dalam evaluasi bulanan. Huh, Raina tidak mau kembali ke HRD dan menjadi pesakitan. Meskipun perutnya sudah mulai melilit, akan Raina tahan hingga waktu pulang. Dia berencana untuk mampir sebentar ke warung pecel langganan dekat indekos.

 ”Benar, enggak mau? Entar habis, lho.” Tangan Yenni berhenti menyuap menunggu respons darinya. Sungguh sebuah tawaran menggoda iman.

 ”Iya, enggak apa-apa. Habiskan saja.” 

Yenni pun menandaskan nasi krawu tanpa merasa bersalah. Gadis itu bahkan menjilat sendok bekas makannya seakan belum puas dengan cita rasa yang tertinggal di sana. Raina jadi mual melihatnya. Dia tidak berminat untuk bergabung saat Yenni, Elly, dan Amanda saling melempar lelucon. Dia hanya ingin meregangkan seluruh otot dengan melemparkan diri ke atas ranjang yang empuk. Raina membayangkan kamar indekosnya yang sederhana, tetapi damai bagaikan surga. 

Ah, dia lupa belum salat. Raina pun berpamitan ke musala di lantai tiga. Lokasinya tepat di depan ruang HRD. Raina menggigit bibir. Jika dia naik sekarang, mungkin Pak Anugerah dan segenap bawahannya belum kembali dari makan siang. Raina tidak ingin membuang waktu berharga dan bergegas menuju tangga. 

***

Di antara sekian banyak hari, Raina mengeluh kenapa siang itu Pak Anugerah kembali ke klinik lebih cepat. Lelaki itu mencapai tangga lebih dulu, maka Raina hanya perlu berusaha agar tidak terlihat olehnya. Mudah saja karena Pak Anugerah sedang fokus menelepon. Namun, langkah lelaki itu juga melambat sebagai konsekuensinya. Dengan sabar, Raina mengekor di belakang, serta bergerak tangkas di sekitar titik buta saat mereka mencapai bordes. Raina melakukannya dengan mulus, sampai ketika Pak Anugerah berhenti mendadak dan membalik badan di bordes terakhir, lantas menangkap basah gelagatnya. 

Lihat selengkapnya