Raina merenungkan ucapan Dokter Carissa tempo hari. Tidak salah juga, tetapi dia mengenal tubuh sang owner melebihi perkiraan sang pembimbing. Karena itulah, Raina tidak keberatan mengerjakan tugas perawat saat dikirim ke Surabaya. Bukan bermaksud besar kepala, tetapi pengalamannya magang di rumah sakit sebetulnya sudah cukup. Namun, dia sial saja menangani pasien seperti Dokter Kartika. Tingkat kesulitan perempuan itu di atas rata-rata. Reputasi yang pantas untuk orang nomor satu perusahaan. Pundi-pundi kekayaan sang founder rupanya tertimbun menjadi lemak tebal yang melindungi pembuluh darahnya dengan rapi.
Entah kenapa, Raina pun merasa Dokter Kartika memiliki tujuan sendiri dengan memilihnya. Dari cara Dokter Kartika memandang hijabnya, perempuan itu seolah tidak menyukainya, dan langsung ingin menguji kemampuannya. Kebulatan tekad Raina untuk mempertahankan prinsip berpakaian ternyata membawa dirinya pada tantangan baru yang tak terduga.
“Dokter Raina, pasien ....” Sebuah panggilan mendayu membuyarkan skenario di kepalanya. Ayu, pemilik suara merdu tadi melongok ke dalam ruang sempit basecamp dokter, di mana Raina dan ketiga rekannya sedang beristirahat di dalam. Dalam kondisi ramai, ruangan itu akan sesak dijejali oleh sepuluh orang, bahkan sebagian dari mereka duduk di atas meja untuk berbagi tempat. Sementara itu, dindingnya dipenuhi oleh jas dokter yang bergelantungan pada hanger.
”Pasien apa, Mbak?” Raina waswas demi melihat mata Ayu berkedip cepat. Raina sudah hafal bahasa tubuh Ayu yang berbicara penuh isyarat.
”Pasien Dokter Carissa, infus. Dokter Carissa sedang mengerjakan laser, jadi Dokter Raina saja yang mengerjakan tindakan, ya?”
Kabar buruk. Kasus Dokter Kartika menjadi pukulan telak bagi Raina. Dia bertekad bahwa kegagalan tersebut akan menjadi yang terakhir kalinya di Rumah Cantik Kartika. Namun, Dokter Carissa seakan ingin menghukum Raina seumur hidup. Tindakan infus atau suntik putih semua diserahkan kepadanya hingga membeludak. Dalam satu hari, antreannya kian memuncak. Salah-salah, Raina bakal lebih dikenal sebagai dokter suntik putih daripada konsultan perawatan kulit.
“Baiklah.” Dia bisa apa?
Raina keluar diiringi oleh cengar-cengir Elly, Amanda, dan Yenni. Mereka harus berterima kasih karena Raina bersedia menjadi tumbal untuk menuntaskan tugas tersebut. Ketika Raina kembali dua puluh menit kemudian, mereka malah asyik berpesta nasi krawu. Raina mengernyitkan hidung saat mengendus aroma terasi menguar tajam di udara.
“Nih, oleh-oleh dari Dokter Cindy. Dia baru pulang promosi di Gresik.” Yenni menawari dengan bibir belepotan minyak. Ada tradisi tidak tertulis bahwa sesama karyawan biasa membawakan buah tangan tiap kali datang perjalanan, lalu membagikannya bak sembako. Raina pun menemukan jejak berupa empat kotak plastik kosong di atas meja. Entah siapa yang khilaf mengambil jatah miliknya.
“Aku enggak punya permen karet mint. Buat kalian saja, deh.” Raina seolah mengingatkan mereka untuk menutupi aroma makanan tersebut atau bakal kena tegur. Taruhannya adalah nama klinik. Jika ada pelanggan protes dan terdengar sampai ke manajemen, maka Pak Anugerah dengan senang hati akan membeberkan dosa mereka di hadapan semua orang dalam evaluasi bulanan. Huh, Raina tidak mau kembali ke HRD dan menjadi pesakitan. Meskipun perutnya mulai melilit, akan Raina tahan hingga pulang. Dia berencana akan mampir sebentar nanti ke warung pecel langganan dekat indekos.
”Benar, enggak mau? Entar habis, lho.” Tangan Yenni berhenti menyuap menunggu respons darinya. Sungguh tawaran yang menggoda iman.
”Iya, enggak apa-apa. Habiskan aja, Mbak.”
Yenni pun menandaskan nasi krawu tanpa merasa bersalah. Gadis itu bahkan menjilat sendok bekas makannya seakan belum puas dengan cita rasa yang tertinggal di sana. Raina jadi mual melihatnya. Dia tidak berminat untuk bergabung saat Yenni, Elly, dan Amanda saling melempar lelucon. Dia hanya ingin meregangkan seluruh otot dengan melemparkan diri ke atas ranjang yang empuk. Raina membayangkan kamar indekosnya yang sederhana, tetapi damai bagaikan surga.
Ah, dia ingat belum salat. Raina pun berpamitan ke musala di lantai tiga. Lokasinya tepat di depan Ruang HRD. Raina menggigit bibir. Jika dia naik sekarang, mungkin Pak Anugerah dan segenap bawahannya belum kembali dari makan siang. Raina tidak ingin membuang waktu berharga dan bergegas menuju tangga.