Tidak Apa-apa Tidak Sempurna

Ravistara
Chapter #7

Pelarian

Raina merapikan sehelai rambut yang mengintip keluar dari balik kerudung, lalu berusaha melemaskan otot-otot wajah. Dia tidak ingin sisa-sisa masalah tadi terbaca dalam ekspresinya. Namun, sehalus apa pun usaha Raina untuk menyamarkan, Amanda yang peka berhasil mengendus keganjilan sikapnya bak anjing pelacak. 

“Lama banget. Kamu perawatan atau kencan, sih?” 

Amanda meninggalkan calon suaminya di Jakarta. Pikiran gadis itu pasti terganggu oleh kerinduan akibat menjalani hubungan jarak jauh sehingga menyuarakan secara tidak langsung keinginannya yang terpendam. Raina membisu karena dia sedang memulihkan perasaannya sendiri saat ini. Namun, gelengannya hanya membangkitkan keingintahuan Amanda lebih dalam. 

“Kamu enggak lagi bokek, ‘kan, Rain?”

Tawa Yenni dan Elly pecah, lalu berdengung berisik di telinga Raina yang pasti sudah merah di balik kerudung. “Man, pertanyaan kamu kebangetan!” Kelopak mata Yenni tinggal segaris. Meskipun dia yang paling tua di antara mereka, tetapi Yenni berparas paling imut serta bertubuh mungil. Mungkin, hanya dia dan Raina yang belum punya pasangan untuk dirindukan di suatu tempat. Namun, sentilan tentang uang tadi sukses menggelitikinya. Amanda pun beralasan, “Habis, tampang Raina kicep kayak Mbak Yenni kebobolan ATM.”

“Amit-amit!” Yenni cemberut. Dibandingkan tidak punya pasangan dan menjomlo seumur hidup, Yenni lebih takut tidak punya uang dan terluntang-lantung. Gilirannya menjadi bulan-bulanan Amanda dan Elly, sementara Raina terlupakan.  Raina tidak merasa terganggu, kok, jika ketiganya masih ingin bersenang-senang mengocok perut hingga jam kerja berakhir. Namun, alangkah damainya jika dia sekarang berada sendirian di kamar dan merenungi diri, bukannya terjebak bersama tiga orang kawan dengan kehidupan klise mereka masing-masing. Raina tidak ingin masalah pribadinya sampai diketahui.  

“Rain, daripada kamu galau mulu, mending kamu ikutan hangout sama kita sore ini. Gimana?” Tawaran mendadak datang dari Elly. Dia adalah tipe paling rumit di antara mereka bertiga. Elly merasa kesepian setiap hari karena jauh dari suami dan harus menghemat pengeluaran demi menjalani training di Surabaya. Namun, gaya hidup foya-foya sudah mendarah daging dalam dirinya. Jika ada kesempatan untuk bersenang-senang, maka Elly takkan melewatkannya begitu saja. 

Hm, Raina ingin sekali menolak dengan alasan capai, tetapi dia sudah terlalu sering menutup diri dari lingkar pergaulan mereka. Jika Raina menarik diri sekarang, mungkin dia akan dibiarkan tenggelam selamanya dari dunia luar. Raina juga makhluk sosial, andai dunia tidak membutuhkan dirinya sekalipun. Raina harus mendengarkan nasihat Dokter Carissa dan mulai berubah. 

“Mau jadi apa anak itu? Dia tidak punya teman sama sekali, Bu. Kerjanya di rumah saja.” Perkataan almarhum ayahnya  bagai cambuk yang memaksa Raina bercermin. Dia tidak boleh menjadi Raina yang dulu. Dia harus mulai membuka diri. 

***

Sebelumnya, tidak ada yang bilang pada Raina bahwa belajar bergaul itu mahal dan harus siap mental. Mahal karena dia harus menerima fakta bahwa lingkaran pertemanannya sekarang berada di lingkup perkotaan. Raina tidak mungkin menghindari kebutuhan bersosialisasi ke tempat-tempat ramai sejenis mal, baik yang kecil maupun besar seperti Pakuwon. 

Hello …, mereka berada di Darmo Permai, bilangan Kota Surabaya yang terkenal sebagai kawasan elite. Raina pun tidak bisa menghindar, meskipun indekosnya bisa dibilang berada di area biasa-biasa saja. 

“Eh, ini anak melamun mulu. Niat hangout kagak, sih?” protes Yenni karena Raina seperti maneken yang cuma menonton ketiganya berbelanja. Raina belum siap mental ketika Yenni, Elly, dan Amanda asyik berbincang tentang merek yang baru dia dengar. Singgah dari satu distro ke distro kenamaan di mal besar membuat dia lelah. Lelah karena tidak bisa bergabung sepenuhnya dalam kesenangan rekan-rekannya. Tinggal beberapa waktu di kota metropolitan tidak lantas menjadikan Raina kekinian dalam semalam. 

 “Gimana, nih. Oke, enggak?”

 Elly mematut high heels berwarna biru navy di kaki. Tubuhnya berlenggak-lenggok ekspresif untuk merasakan kenyamanan sepatu tersebut. Tanpa dia sadari, tingkah lakunya menarik perhatian pengunjung lain. Elly memang representasi dari si centil pesolek nan rupawan. Entah berapa lawan jenis yang kerap menahan napas jika Elly memancarkan pesonanya yang berlimpah ke mana-mana. Berdekatan dengan Elly seumpama menantang sinar mentari yang menelan cahaya bulan. Masih butuh seratus tahun bagi Raina untuk menyamakan level mereka. Jika mengingat tempat asal Elly, maka tidak heran kenapa rekannya ini dianugerahi daya tarik luar biasa. Bangka Belitung memang salah satu daerah penghasil perempuan tercantik di Indonesia. 

 “Cantik,” jawab Amanda asal. Tanpa pendapat itu pun, Elly sudah tahu jawabannya bakal tidak jauh dari kalimat pengakuan Amanda–yang mengandung sedikit rasa iri–karena tidak ada yang bisa dikritik dari penampilan luarnya. 

 “Serius?” Elly berputar sekali lagi di depan cermin.

Ketiganya mendumal dalam hati masing-masing. Kalau pada akhirnya ragu, kenapa harus meminta pendapat segala? Si cantik yang agak sombong jelas tidak masuk dalam kriteria panutan Raina. 

 “El, kalau mau beli, ya … tinggal bayar aja. Repot amat, sih?” Yenni hilang kesabaran. Elly pun terkekeh menampilkan barisan giginya yang rapi dan lucu karena ada sepasang gigi seri seperti gigi kelinci di bagian atas. 

 “Enggak ada salahnya, ‘kan, minta second opinion.” Elly berdalih dengan cuek bebeknya.

Lihat selengkapnya