Raina baru selesai mandi dan bersiap-siap berangkat pukul setengah delapan. Sarapan nanti akan dia beli saja dalam perjalanan. Ada warung tegal dekat indekos yang menjual paket komplet murah meriah–goceng sudah dapat nasi porsi besar, lauk, sayur, dan saus kacang. Raina sudah sangat-sangat terlambat pagi itu, maka dia pun tidak ambil pusing ketika Yenni, Elly, dan Amanda kemungkinan berangkat duluan. Dia memang telah terbiasa tanpa kehadiran mereka. Apalagi setelah Amanda mengatakan sesuatu yang egois tadi malam, Raina murka. Sudah terlalu banyak kegelisahan dalam dirinya. Raina butuh waktu untuk pulih dari krisis.
Setiba di klinik, Raina segera mengisi absen elektronik di pos satpam. Napasnya terembus lega karena dia belum terlambat. Raina pun masuk melewati pintu samping dekat area penatu. Tercium bau segar dari kain-kain steril dan kamisol perawatan yang dijemur. Namun, sensasi tidak lazim segera menyergap tiap sudut indrawi Raina dengan nyata ketika di dalam. Ruang basecamp yang biasanya penuh geliat kehidupan serta ragam aroma bekal sarapan yang dibawa oleh para dokter itu kini tampak lengang.
Raina bergegas ke depan, mungkin saja rekan-rekannya sedang berkumpul di area front desk atau ruang konsultasi, tetapi dia hanya mendapati Ayu yang sedang mematung menatap layar televisi yang menempel di dinding, tepat di seberang sofa. Perhatian Raina lantas tertuju ke sana. Dia melihat Dokter Carissa sedang tampil di layar kaca.
“Dokter Carissa memang geulis, yah.” Ayu menyadari kehadirannya dan berceloteh. “Dokter enggak ikut yang lain ke talking show?” Pertanyaan Ayu berikutnya pun menyadarkan Raina bahwa dia telah ketinggalan sebuah momen penting.
“Talking show?” ulang Raina bingung. Reaksi Ayu takkalah bingung darinya. Ayu segera menjelaskan bahwa hari itu ada acara promosi klinik di stasiun TV lokal, Dokter Carissa yang jadi bintang tamunya. Yenni, Elly, Amanda, serta beberapa beautician senior juga berangkat ke sana untuk mendampingi.
Ada sesuatu yang salah. Pasti karena hijabnya. Mereka pasti tidak ingin Raina terpublikasi di televisi sebagai bagian dari Rumah Cantik Kartika, karena itulah Raina sama sekali tidak mengetahui informasi tersebut sehingga tidak ikut berpartisipasi.
“Semua orang ada di sana, ya, Mbak? Makanya sepi.” Raina berujar getir. Ayu malah tersenyum. “Iya, Dok. Pak Gege sama Ibu Lilian juga ikut.”
Bibir Raina tertarik kaku. Bagus, semua orang ada di sana, kecuali dirinya. Ketidakhadirannya justru lebih baik untuk semua orang. Jika dipikir-pikir, Raina sebetulnya tidak terlalu tertarik. Namun, tetap saja ada segumpal kekecewaan yang kini menyesaki dadanya.
“Dokter enggak usah khawatir. Cuma Dokter Carissa dokter senior yang dikirim ke stasiun TV. Dokter yang lain hadir seperti biasa, kok. Oh, ya. Hari ini, dokter kesayangannya Dokter Kartika balik dari dinas luar. Dokter Raina pasti suka sama orangnya.” Ayu menambahkan saat membaca kecemasan dalam ekspresi Raina. Namun, karyawan front desk tersebut sudah salah paham. Pikiran Raina terlalu sibuk untuk hal lain, hingga keberadaan seorang dokter senior lagi tidak berarti apa-apa untuknya. Kesayangan pemilik perusaahaan, pula. Raina sama sekali tidak mampu menebak orang seperti apa yang Ayu bilang bakal dia suka. Tidak penting untuk disukai atau menyukai siapa saja sekarang. Dia hanya ingin lulus training. Selamat tanpa insiden apa pun.
“Saya masuk dulu, Mbak. Panggil saja kalau ada pasien, ya.” Raina pamit kembali ke basecamp, tetapi Ayu berkeras menemani.
“Kapan lagi saya bisa leyeh-leyeh begini, Dok,” ujarnya. Karyawan front desk satu ini memang jujur sekali padanya dan tidak melewatkan kesempatan untuk bersantai sejenak. Ayu mendelegasikan tugasnya pada karyawan lain di depan dan keputusannya tidak sia-sia. Ketika Raina membuka pintu basecamp, Ayu langsung menjerit kencang. “DOK PEEET!” Raina sampai menutup kedua telinga akibat suara Ayu yang menggelegar.
“Kejutan, semuanya!”
Baru Raina tinggal sebentar, sudah ada penghuni baru di basecamp. Seorang lelaki. Dengan santainya, dia duduk bersilang kaki di tepi meja. Dalam sekali pandang, Raina bisa tahu bahwa lelaki itu berperawakan di atas rata-rata, mungkin lebih jangkung dari Dokter Kartika. Sepasang matanya berseri bagai langit yang cerah. Senyumnya apalagi, menyilaukan mata siapa pun yang terkena sasaran. Intinya, lelaki itu sangat menawan. Dari snelli yang berada di pangkuannya, koneksi saraf dalam otak Raina langsung bekerja cepat. Pasti inilah dokter kesayangan klinik yang Ayu maksud.
“Dokter Petra kapan datang? Kok mendadak muncul aja,” komentar Ayu semringah. Karyawan front desk itu tanpa malu-malu menempel di sisinya.
“Lewat belakang tadi, Yu. Kayak enggak kenal aja. Kita, ‘kan, pejuang backstreet.” Keduanya tertawa lepas. Kemudian, sepasang mata lelaki itu melebar kala tatapannya jatuh di wajah Raina.