Es krim Zangrandi, kafe es krim legendaris bergaya serambi terbuka ala Belanda dalam nuansa merah menyala, ke sanalah Pak Anugerah mengajak Raina. Lelaki itu sempat ragu karena lokasi kuliner tersebut berada agak jauh di jantung peradaban. Mereka harus menyeberangi Kalimas yang membelah Kota Surabaya. Namun, lagi-lagi Raina tidak keberatan menuruti dorongan hatinya karena sebuah alasan aneh. Untuk momen seumur hidup yang mungkin takkan terulang selamanya.
Pengalaman tersebut memang tidak terlupakan. Baru pertama kali, Raina merasa bahwa kehadirannya di satu tempat mampu menyedot perhatian seluruh pengunjung dan itu adalah hal yang tidak pernah dia temui sebelumnya di Banjarmasin. Sudah Raina bilang, dia tidak secemerlang artis terkenal hingga mampu menggiring banyak tatapan ke arahnya, meskipun wajahnya juga tidak bisa dikatakan rata-rata. Raina menahan diri untuk tidak memperlihatkan reaksi kebingungan, apalagi bertanya pada Pak Anugerah. Dia bukan tipe pengadu.
Pak Anugerah sendiri yang tiba-tiba menyeletuk, “Penuh sekali di sini, Dok. Makin malam makin ramai. Enggak apa-apa?”
Pak Anugerah seakan menyadari bahwa dirinya telah berbuat kesalahan. Sikap lelaki itu waspada bagai sedang menghindari kejaran paparazi.
“Enggak apa-apa, Pak. Namanya juga tempat ikonik, ‘kan?” timpal Raina cuek. Lelaki itu pun diam, sekalipun ekspresi wajahnya terlihat kurang nyaman. Pak Anugerah mengajak Raina ke satu-satunya meja kosong di pojokan, lalu seorang waiter mendekat menyerahkan buku menu. Raina pun diberi kesempatan pertama untuk memilih. Saat itulah, dia makin menyadari keganjilan yang terjadi di antara mereka.
“Jangan yang itu, Dok!” Pak Anugerah lekas memperingatkan ketika Raina menunjukkan satu menu kepada waiter.
“Lho, kenapa, Pak?”
“Itu ada rum-nya.”
Kening Raina berkerut tidak paham. Dia berharap memperoleh penjelasan lebih lanjut, tetapi tidak terkabul.
“Kalau saya rasa durian dengan rum, ya.”