Tidak Apa-apa Tidak Sempurna

Ravistara
Chapter #11

Salah Paham

Es krim Zangrandi, gerai es krim legendaris bergaya serambi terbuka ala Belanda dalam nuansa serbamerah, ke sanalah Pak Anugerah mengajaknya. Lelaki itu sempat ragu karena lokasi kuliner itu berada agak jauh di jantung peradaban. Mereka harus menyeberangi Kalimas yang membelah Kota Surabaya. Namun, lagi-lagi Raina tidak keberatan menuruti dorongan hatinya karena sebuah alasan aneh. Momen ini bagai pengalaman seumur hidup yang takkan terulang selamanya. 

Pengalaman itu memang tidak akan Raina lupakan. Untuk pertama kalinya, dia dihinggapi kesan tidak wajar karena kehadirannya mengundang perhatian para pengunjung lain. Sudah Raina bilang, dia tidak secemerlang artis terkenal hingga mampu menyedot banyak tatapan ke arahnya, meskipun wajahnya juga tidak bisa dikatakan rata-rata. Raina menahan diri untuk tidak memperlihatkan reaksi kebingungan, apalagi bertanya pada Pak Anugerah. Dia bukan tipe pengadu. 

Pak Anugerah sendiri yang tiba-tiba menyeletuk, “Penuh sekali di sini, Dok. Makin  malam makin ramai. Enggak apa-apa?”

Pak Anugerah seakan menyadari bahwa dirinya telah berbuat kesalahan. Sikapnya waspada bagai sedang menghindari kejaran paparazi. 

“Enggak apa-apa, Pak. Namanya juga tempat ikonik, ‘kan?” timpal Raina cuek. Lelaki itu pun diam, sekalipun ekspresi wajahnya terlihat kurang nyaman. Pak Anugerah mengajak Raina ke satu-satunya meja kosong di pojokan, lalu seorang waiter mendekat menyerahkan buku menu. Raina pun diberi kesempatan pertama untuk memilih. Saat itulah, dia mulai menyadari keganjilan yang terjadi di antara mereka. 

“Jangan yang itu, Dok!” Pak Anugerah lekas memperingatkan ketika Raina menunjukkan satu menu kepada waiter.

Lho, kenapa, Pak?”

“Itu ada rum-nya.”

Kening Raina berkerut tidak paham. Dia berharap memperoleh penjelasan lebih lanjut, tetapi tidak terkabul. 

“Kalau saya rasa durian dengan rum, ya.”

Raina kian heran karena Pak Anugerah sendiri memesan menu yang dilarang untuk dirinya! Setelah waiter menjauh, barulah lelaki itu berterus terang bahwa rum adalah sejenis alkohol yang disuling dari fermentasi tebu. 

Ingin rasanya Raina menyembunyikan wajah di balik buku menu lantaran rasa malu dan frustrasi. Dia masih belum terbiasa dengan kemajemukan kota ini. Di tempat asalnya, semua makanan yang dijual berlabel halal sehingga Raina tidak perlu direpotkan dengan berbagai pilihan rumit. Raina juga belum pernah duduk satu meja dengan orang yang menyantap menu nonhalal tanpa sungkan di depan matanya.  

“Bapak nanti sanggup nyetir?” tanya Raina. Dia tidak mampu berkonsentrasi menikmati es krim Macedonia dengan toping ceri dan kacang di hadapannya meskipun tampak amat lezat. 

“Rum-nya cuma dikit, Dok. Enggak sampai bikin mabuk,” jawab Pak Anugerah tanpa memandang ke arah Raina. 

Duh, perut Raina serasa diaduk, tidak menyangka jika dia akan terjebak obrolan sensitif macam ini di meja makan. Bagi Raina, adegan ini sama saja mengganggunya dengan menonton sepasang insan nonhalal yang berasyik-masyuk di depan khalayak. Sama-sama berskala mengguncang iman. 

“Ayo habiskan, Dokter Raina. Es krimnya enak sekali, lho.”

Mungkin, Pak Anugerah tidak sadar akan arti perbuatannya di mata Raina, terlihat dari raut wajahnya yang tidak bersalah sama sekali. Raina harus memaklumi dan memaafkan ketidakpekaan lelaki itu, sama halnya kala dia dituntut bersabar karena seseorang sedang makan dan minum di hadapannya saat siang bolong puasa. Baiklah, Raina mesti belajar konsep toleransi terbalik. 

Pernah Raina bilang, bukan, Pak Anugerah punya standar ganda? Namun, bukan salah lelaki itu atau salahnya. Mereka hanya dua orang asing yang tidak perlu memahami satu sama lain. Hanya butuh dua bulan lagi bagi Raina untuk bertahan.

Enak, Dok?” Pak Anugerah tampak mulai khawatir karena Raina memberikan reaksi sedingin es krim yang lumer di mulutnya. Gadis itu mematung sekian lama bagai hilang akal. Ah, apa yang Raina pikirkan? Pak Anugerah sudah berbaik hati mengantarkannya ke tempat ini. Tidak seharusnya dia terlampau memikirkan perbedaan di antara mereka. Masih ada yang menyatukan mereka sebagai sesama manusia. Mereka berbagi penghidupan dan oksigen yang sama. 

Lihat selengkapnya