Tidak Apa-apa Tidak Sempurna

Ravistara
Chapter #13

Isyarat

Tidak ada yang salah pada diri Raina. Namun, pori-pori kulitnya seperti termostat rusak sehingga gagal merasakan bahwa hawa di luar sungguh menyengat seakan matahari berjarak lebih dekat daripada biasanya. Terlihat dari keringat orang-orang yang lalu lalang di pintu depan. Mereka lantas berseru lega ketika memasuki lobi klinik yang menawarkan kesejukan surgawi. Karena itulah, mereka merasa heran bagaimana Raina bisa baik-baik saja dalam kondisi berhijab yang kelihatannya pasti pengap. 

Raina tinggal di Kalimantan, omong-omong. Dia sudah pernah mengalami panas yang lebih buruk saat matahari berada tepat di atas kepala. Sesungguhnya, bukan panas ragawi yang mampu menyiksa Raina sekarang, melainkan gejolak hormon dalam dirinya yang tiba-tiba membakar hingga ke sumsum tulang. Semua karena sensasi dejavu yang dibangkitkan oleh aroma misterius. 

Mungkin, inilah yang orang-orang sebut feromon. 

Kulit pipi Raina memerah. Tidak pantas bagi perempuan berhijab seperti dirinya gagal melindungi hati dari godaan setan yang terkutuk. 

Ah, bagaimanapun, Raina perempuan biasa yang juga punya gejolak rasa. Raina bukan sosiopat berhati dingin. 

Siang itu, bisa dikatakan Raina menganggur. Formasi beauty consultant senior yang lengkap membantu belasan appoinment tuntas lebih cepat. Raina dan para trainee pun bisa fokus untuk belajar atau sekadar nongkrong di basecamp. Namun, Raina tidak betah duduk menggosip, maka dia memilih untuk berjalan ke depan dan bergabung di area front desk

Ayu setengah menguap tatkala memeriksa lembaran status yang panjang dan berlipat–kebanyakan status pasien Dokter Carissa dan Dokter Petra. Saat itulah, cuping hidung Raina menangkap aroma musim panas yang hangat seperti campuran jeruk dan kesegaran embun pagi di antara aroma-aroma lain yang berseliweran memenuhi klinik, termasuk aroma badannya sendiri yang tentu saja sudah Raina hafal. Saat itu sungguh tepat karena dia nyaris bosan, tetapi eksotisme yang dibawa oleh aroma misterius tersebut menghidupkan kembali gairah Raina yang sekarat. Sepertinya, Raina pernah bersinggungan dengannya entah kapan dan di mana. Memori tentangnya seolah melekat di alam bawah sadar.

“Raina.” Tiba-tiba saja, Dokter Petra muncul di hadapannya. Aroma hangat tadi seketika lenyap digantikan oleh serbuan mint yang dingin dan tajam. 

“Iya, Dok.” Raina menyembunyikan rasa terganggunya dengan rapi. Dokter Petra tampak terburu-buru dan nyaris tidak memandang ke arahnya. 

“Sebentar lagi, klien saya mau dermabrasi wajah. Kamu sekalian pasangkan infus whitening, ya.”

“Tidak dikerjakan setelahnya saja, Dok?” tanya Raina hati-hati. Perawatan yang disebutkan Dokter Petra hanya memakan waktu setengah jam, maka tidak perlu terburu-buru dikerjakan tandem. 

“Orangnya takut diinfus, tapi saya nge-push dia agar hasil treatment lebih maksimal. Kamu, kan, sering ngerjain infus. Saya mengandalkan kamu, Raina.” Ada nada ketidakjujuran yang Raina tangkap. Boleh jadi dokter bertangan terampil itu terlalu malas untuk mengobok-obok pembuluh darah pasien karena insentif tindakannya murah. Namun, Raina tidak bisa membantah. Raina pun kian terpojok ketika giliran Dokter Carissa memanggilnya untuk membakar kutil-kutil bagai bintang bertaburan memenuhi wajah seorang ibu yang mengalami kasus penuaan kulit dini. Kutil itu banyak sekali dan kecil-kecil. Tindakan receh tersebut butuh ketelatenan tingkat tinggi–kalau tidak dianggap membosankan. 

Saat berkonsentrasi dengan cauter di jemarinya, aroma hangat misterius datang lagi, masuk melalui pintu yang terbuka. 

“Dokter Carissa?”

“Dokter Carissa barusan keluar, Pak.”

Lihat selengkapnya