Hujan turun bagai intermeso di musim kemarau hingga situasinya sungguh merayu untuk kembali ke peraduan. Para dokter trainee baru selesai bimbingan bersama Dokter Carissa di aula lantai dua. Make up tebal seakan tidak mampu menyembunyikan ekspresi suntuk pada wajah ketiga rekannya. Raina sendiri mencoba tegar menahan kuap. Godaan itu lantas lenyap ketika Dokter Petra masuk dan membuat geger satu ruangan.
“Dok Cariss … saya pinjam Raina, ya.”
“Sebentar lagi mau bimbingan di bawah, Petra,” sahut Dokter Carissa enggan menuruti. Dokter Petra tersenyum kecil. “Enggak lama, Dok Ris. Ada yang mau saya lurusin sama Raina.”
Alis Dokter Carissa terangkat. Entah perasaan Raina saja atau Dokter Petra sengaja menggunakan kata-kata ambigu untuk mengundang kontroversi.
“Apanya yang dilurusin?” Dokter Carissa malah menyambut umpan menyesatkan tersebut.
“Sesuatu yang Raina enggak suka, tapi sebenarnya dia sangat butuh.”
“Baiklah, tapi jangan lupa dibalikin nanti.” Untung Dokter Carissa cukup bijak untuk tidak menggiring opini yang meliar. Namun, ketiga rekan Raina jelas tidak berusaha menutupi rasa cemburu mereka. Raina yang selalu disuruh-suruh oleh senior, sehingga dia bagaikan tidak punya kepentingan dan kehidupan sendiri di klinik ini. Memiliki Dokter Petra di luar rupanya belum cukup juga bagi Yenni, Elly, dan Amanda. Elly bahkan terang-terangan menunjukkan gelagat tidak suka dengan mengibaskan rambut dan mengangkat dagunya ke arah Raina. Semoga Elly belum lupa dengan suaminya di Bangka Belitung.
Dokter Petra tersenyum penuh kemenangan. Dia memang dianakemaskan di mana-mana. Namun, kali ini Raina tidak sudi membiarkan lelaki itu di atas angin. Raina tidak mengikutinya turun ke bawah, tetapi justru naik ke lantai tiga. Panggilan sang senior dia abaikan. Alhasil, mereka berkejaran di tangga karena Dokter Petra bukan tipe yang rela melepaskan begitu saja.
“Raina!”
Hal pertama yang terlintas di benak Raina adalah mengurung diri di toilet lantai tiga sampai Dokter Petra bosan untuk memaksanya keluar. Namun, ide itu berubah sekejap ketika dia melihat sosok Pak Anugerah muncul dari dalam HRD. Lelaki itu pun terkejut saat Raina tiba-tiba bersembunyi di balik punggungnya dan Dokter Petra mendatangi mereka dengan emosi di wajah.
“Tolong saya, Pak!” Raina memohon.
“Kamu jangan bikin saya marah, Raina!”
“Ada apa ini, Dok?” Pak Anugerah bertanya pada Dokter Petra.
“Coba Pak Gege tanya sendiri ke Raina.”
Raina gelagapan ketika Pak Anugerah berbalik, lalu menyorotnya dengan tatapan ingin tahu. Lelaki itu menunggu gerak bibir Raina yang mendadak kelu.
“Dok Petra bilang ….” Jawaban Raina menggantung karena dia sadar betapa kekanakannya situasi yang mereka hadapi sekarang. Tanpa sadar, dia telah masuk perangkap Dokter Petra. Lelaki itu sedang menyeringai seakan mengejek hingga Raina merasa kehilangan kontrol karena dipermainkan terus-menerus olehnya.
“Saya minta keadilan, Pak!” tuntutnya.
“Maksud Dokter?” Pak Anugerah kelihatannya benar-benar bingung.
“Saya merasa diperalat. Dokter Petra memaksa saya kerja rodi. Sekarang bukan zaman Belanda lagi, ‘kan, Pak?”
Tawa Dokter Petra pecah hingga Pak Anugerah mengerjap. Raina segera dihinggapi firasat buruk karena Pak Anugerah lantas tidak segera menanggapi aduannya. Lelaki itu malah saling lempar pandang dengan Dokter Petra.
“Saya ingin bicara dengan Dokter Raina sebentar, Dok.”
“Langsung saja di sini, Pak. Agar tuduhan-tuduhan yang Raina alamatkan pada saya tadi clear. Menurut Pak Gege, apakah saya telah melakukan eksploitasi pada Raina?”