“Gaes, kita pestaaa!” Ayu masuk dari pintu belakang dekat penatu dan ruang makan. Para beautician yang sedang berkumpul di meja panjang langsung bersorak melihat tumpukan kotak bergambar donat warna-warni di tangan Ayu. Begitu Ayu menaruh kotak-kotak tersebut, semua orang langsung menyerbu.
Tak ketinggalan, Ayu juga melongok ke dalam basecamp dan memberi tahu para dokter trainee untuk bergabung bersama mereka.
“Wah, wah. Ada hajat apa, nih?” Mata Amanda berbinar-binar. Elly langsung mencomot satu tanpa disuruh, sedangkan Yenni sibuk memilih target yang akan masuk ke perutnya.
“Traktiran Dokter Petra. Tadi dia titip di depan.” Ayu menjelaskan. Setelah insiden ketiaknya terbakar saat jadi probandus percobaan, Ayu tampaknya telah memaafkan lelaki itu. Oh, ya. Raina lupa. Dialah yang membakar ketiak Ayu, sementara Dokter Petra hanya memprovokasi di belakang. Raina masih merasa bersalah gara-gara kejadian itu. Dia merasa keakrabannya dengan Ayu telah ternoda.
“Mari, Dok Raina.”
“Makasih. Masih kenyang, Mbak.” Raina berkilah halus. Dia tidak sanggup menelan pemberian Dokter Petra karena langsung merasa mual. Kebaikan Dokter Petra pasti disebabkan rasa bersalah karena telah berbuat kekeliruan tempo hari. Namun, Dokter Petra tidak pernah mengakuinya langsung di hadapan Ayu. Inilah yang Raina tidak suka. Untunglah, hari ini mereka berdua tidak perlu bertemu karena Dokter Petra sedang mengambil jatah libur mingguan.
Raina pun buru-buru berdalih ke depan untuk mengecek ruang perawatan, sementara semua orang berpesta di ruang makan.
Ketika menyibak pintu menuju lobi, Raina melihat ada seorang lelaki muda berpenampilan perlente sedang duduk di sofa. Kemunculan Raina langsung mengalihkan perhatiannya. Dengan wajah datar tanpa ekspresi, lelaki itu menatap Raina tajam. Meskipun merasa tidak nyaman dipandangi seperti itu, tetapi Raina tidak bisa menghilang begitu saja. Dia pun tidak punya pilihan selain menghampiri sang lelaki.
“Permisi, ada yang bisa saya bantu?” Raina menyapa ramah. Intensitas tatapan lelaki itu tidak berkurang sedikit pun. Raina merasa, itu bukanlah jenis tatapan yang memancarkan rasa ketertarikan, tetapi sebaliknya. Namun, sebisa mungkin Raina menutupi rasa tidak nyaman yang bergolak dalam dirinya.
“Saya ada janji suntik jerawat dengan Dokter Cindy,” jelas lelaki itu gamblang. Pasien Dokter Cindy, pantas saja Raina tidak hafal.
“Maaf, Dokter Cindy belum datang.”
“Saya sedang buru-buru. Pagi ini saya ada meeting.”
Raina berpikir serius. Lelaki ini datang pagi-pagi hanya untuk suntikan jerawat. Dia bahkan tidak diberi kesempatan untuk memeriksa jadwal, apalagi memanggil seseorang untuk datang ke lobi sekarang. Dia pasti orang yang sangat sibuk sekaligus memperhatikan penampilan. Bisa terlihat dari kulitnya yang amat mulus untuk ukuran kaum Adam.
“Apakah Bapak bersedia digantikan dengan dokter lain?” Raina menawarkan. Lelaki itu mendesah kecewa. Tampaknya, dia betul-betul dikejar oleh waktu hingga terpaksa mengiakan. Dia pun tidak terkejut ketika Raina memperkenalkan diri sebagai dokter pengganti yang bertugas pagi itu.
Raina tidak perlu mengambil resep ke apotek karena para trainee selalu membawa alat suntik antiinflamasi di saku snelli. Maka, dia langsung mempersilakan si pasien untuk masuk ke bilik perawatan wajah terdekat. Prosesnya sendiri amat sederhana. Raina hanya perlu menyuntik bagian kulit yang mengalami tanda-tanda akan tumbuh jerawat seperti memerah, nyeri, atau agak membengkak.
Raina bahkan lupa untuk melaporkan tindakannya pagi tadi ke Dokter Cindy. Tahu-tahu, dia dipanggil ke ruang konsultasi di sore hari. Ada Dokter Cindy dan Dokter Carissa di sana. Namun, firasat buruk mengusasai hatinya ketika melihat lelaki di pagi hari dan Pak Anugerah juga ada di ruangan itu.
“Ini dia orangnya.” Lelaki itu langsung menunjuk Raina.