“Raina, mari bicara sebentar.”
Ayu bilang, tadi dia dipanggil ke Ruang HRD. Pak Anugerah ternyata sudah menunggunya di balkon. Hari nahas bagi Raina. Jika dia pikir bisa meloloskan diri dengan mudah, maka cuma mimpi. Kecuali Pak Anugerah mengalami amnesia, tapi Raina tentu akan patah hati. Meskipun hanya secuil, Raina berharap dia punya tempat dalam hati lelaki itu.
Tidak tahu malu. Perasaan ini adalah ujian, tidak semestinya Raina merayakan. Meskipun sekarang dia berada di tempat dan bersama orang yang paling dia sukai di dunia.
“Kenapa kamu mendadak bersikap aneh?”
“Saya?” Raina berpura-pura tegar menempati sofa di depan lelaki itu tanpa dipersilakan sama sekali.
“Jangan berpura-pura, Raina. Ini soal kejadian di depan aula pagi tadi. Kenapa kamu mencampuri urusan pribadi saya?”
“Apakah saya terlarang melakukannya?”
“Raina, berhenti main-main.”
Plak! Raina menepuk meja di hadapan mereka hingga Pak Anugerah terlonjak. Gadis itu tidak berusaha menutupi ekspresi dan perasaannnya.
“Bapak memanggil saya ke sini untuk sekadar menginterogasi atau mencari solusi? Saya tegaskan sama Bapak. Saya mungkin tidak mampu mengontrol perasaan, tapi saya tahu batasan. Ada prinsip yang saya pertahankan. Saya anggap ini musibah, Pak.” Di balik hijabnya yang kontroversial, Raina ingin lelaki itu tahu bahwa dirinya tidak senaif dan sesederhana kelihatannya.
Pak Anugerah menelan ludah bagai sedang menelan utuh segenap kebencian yang dia muntahkan. Reaksi ketidaksenangan dari lelaki itu kemudian melebihi insiden lemper saat pertemuan klinik. Namun, Raina tidak bisa menyalahkan.
“Kamu bicara seolah-olah kamu sangat membenci saya,” katanya terpukul.
“Akan lebih mudah jika Bapak membenci saya.”
“Akan lebih mudah jika kamu menyukai Dokter Petra.”
Raina terperanjat. “Kenapa saya harus menyukai Dokter Petra? Semua orang di klinik mungkin suka sama dia, tapi saya suka–”
“Stop.” Pak Anugerah menggerakkan tangannya ke depan. “Sebelum kamu lupa, kita beda generasi, Raina. Kita juga sangat berbeda dalam banyak hal.”
“Sebetulnya, akan lebih mudah jika Bapak ada hubungan sama Dokter Carissa atau saya tidak pernah bekerja di tempat ini.”
Pak Anugerah mencubit keningnya yang mendadak sakit. “Saya tidak tahu bagaimana cara bicara sama kamu agar paham.”
“Bapak tidak usah meyakinkan saya macam-macam. Saya tidak minta apa-apa, kok, dari Bapak,” Raina tersenyum sinis, “kecuali satu. Saya ingin diperlakukan sama seperti yang lain.”