“Ya Allah, Pak Anugerah mana, sih?” Raina menggumam gelisah. Semenjak pagi tadi, dia menunggu kemunculan batang hidung lelaki itu. Raina bolak-balik dari depan sampai belakang klinik untuk mencari-cari tanda keberadaan mobilnya.
Di hari pertama dirinya akan dikirim ke klinik pusat, Dokter Carissa meminta Raina berhadir dulu di klinik Darmo. Ada pengarahan terakhir dari sang pembimbing, sekaligus acara berpamitan dengan para karyawan di sana. Ayu memeluk erat dirinya. Ibu Lilian bahkan terharu hingga matanya memerah saat mereka berjabatan tangan. Ternyata, Raina sudah memiliki tempat di hati Rumah Cantik Kartika atau momen emosional macam itu memang lumrah terjadi setiap berakhirnya siklus training.
Kepala Raina pusing, lebih akibat kecewa karena harapannya tidak terkabul. Pak Anugerah seolah bersembunyi darinya. Dia pun akhirnya menyerah lantas menumpangi mobil klinik yang akan membawanya ke Pusat. Tiba-tiba, sebuah sedan hitam kecil merayap pelan di luar gerbang. Raina segera menggedor-gedor kursi sopir di dengan panik untuk menyuruh berhenti. Dia lalu berlari keluar menuju mobil tersebut.
“Pak!”
Lelaki itu terkejut karena Raina mengadang di luar. Namun, gadis itu mundur ketika Pak Anugerah nekat merangsek maju. Nyali Raina ciut.
“Kenapa kamu masih di sini?” Sikap Pak Anugerah terasa dingin, juga tiada lagi rasa hormatnya sebagai kolega.
“Saya mau pamit, Pak.” Raina menjawab sedih karena nasibnya bagai habis manis sepah dibuang.
“Baik. Selamat jalan, Dok. Dokter sudah ditunggu di klinik pusat. Jangan sampai telat.”
Untuk sesaat, Pak Anugerah yang normal seakan kembali. Namun, kata-katanya diucapkan dalam nada ketus. Raina pun menyesal telah keluar untuk menemuinya. Gadis itu hanya menyerahkan hatinya untuk diremas makin hancur. Dia lalu kembali ke mobil dan menahan diri untuk tidak menoleh ke belakang. Kekacauan yang dia perbuat mungkin sebentar lagi akan menyebar bagai wabah. Tampaknya, hampir semua orang di klinik tadi mengintip drama picisan yang mereka pertontonkan.
Raina memang sudah ditunggu di klinik pusat. Untuk pertama kalinya, dia menginjak tempat yang dibangun oleh Dokter Kartika tersebut. Dengan tangan dinginnya, perusahaan kecantikan miliknya kini sudah menyebar hampir ke seluruh Nusantara.
“Kamu pasti Raina, ‘kan?” Seorang perempuan dengan scarf batik di leher dan rambut lurus panjang yang diikat ke belakang, tersenyum manis menyapanya di lobi. Sementara itu, situasi di sekitar mereka dipenuhi oleh para beautician berbaju batik yang tengah bersiap menunggu para tamu undangan. Raina memutuskan untuk langsung menyukai perempuan itu dan klinik barunya. Sepertinya, dia bisa bernapas lebih lega di sini tanpa cengkeraman Dokter Petra ataupun kepalsuan sikap lelaki yang diam-diam dia puja.
Perempuan yang mengenalkan diri sebagai Dokter Dewi tersebut, sang penanggung jawab klinik pusat, kemudian mengajaknya tur singkat ke seluruh ruangan. Perempuan itu berbicara cepat, tetapi jelas, dan amat ramah. Dia menggandeng lengan Raina hangat selayaknya sahabat. Raina jadi tahu jika klinik pusat jauh lebih besar dan ada bonusnya … banyak muslim juga. Raina merasa bukan minoritas lagi. Namun, tempat itu sungguh besar hingga dia bisa saja kesasar.
Setelah cukup, Dokter Dewi menuntunnya ke bilik kecil di lantai dua. Dia menyuruh Raina untuk bersiap-siap sebentar sebelum bergabung di depan.
Pintu terbuka lantas dua orang perempuan masuk. Berbeda dengan karyawan-karyawan Rumah Cantika Kartika lain, keduanya punya perawakan agak subur. Salah satunya bahkan berpipi tembam hingga sepasang mata mungilnya nyaris tenggelam.