Raina memicingkan mata sesaat untuk mengenali sosok itu. Dia mengenali rambut berombaknya yang disisir ke belakang. “Dokter Petra?”
“Makasih, Dok. Saya bisa pulang sendiri.” Buru-buru Raina menolak ajakan lelaki itu dan berusaha menghindar. Namun, Dokter Petra segera menepikan mobil, lalu keluar menghampirinya. “Masuk, Raina. Saya mau bicara sama kamu.” Lelaki itu melepaskan kacamata dan Raina bisa melihat keseriusan yang tampak di sana. Ingin sekali Raina menjaga jarak. Dia tidak punya urusan pribadi dengan Dokter Petra yang mesti dibicarakan, tetapi sepertinya sekarang bukan saat yang tepat untuk menambah ketegangan baru. Dia hafal bagaimana karakter Dokter Petra. Raina agak takut lelaki itu bakal meledak.
“Sebentar saja, ‘kan, Dok?” Raina celingak-celinguk, berharap ada seseorang menolongnya, tapi mustahil karena saat itu di sekitarnya lengang.
“Iya. Kamu takut banget, sih, kayak saya mau gigit kamu aja.” Sindiran Dokter Petra yang sinis seperti biasa cukup melegakan Raina. Tidak mungkin rasanya Dokter Petra akan menculiknya tanpa sebab. Setelah Raina duduk pasrah di jok kiri, Dokter Petra membanting pintu, lalu mobil meluncur cepat meninggalkan WR Supratman.
Berada dalam properti milik lelaki itu agak mengelisahkan sebetulnya bagi Raina, sama sekali berbeda dari perasaan aman yang dia peroleh sewaktu bersama Pak Anugerah. Mungkin saja firasatnya salah atau perasaannyalah yang memanipulasi segala persepsi. Mereka berdua tidak bicara apa-apa dan Raina hanya berani melirik sesekali. Dokter Petra diam fokus menatap jalanan di depan, hingga sepasang mata dan alis elang yang menukik itu terlihat makin tajam. Inilah pasti alasan yang membuat perempuan-perempuan di Rumah Cantik Kartika tergila-gila pada sosoknya. Jenis lelaki yang biasa didapuk untuk diserahi peran kekasih ideal dalam kisah-kisah romansa kebanyakan. Tampan, muda, kaya, dan punya karier bagus. Jika Raina boleh menambahkan sedikit: terobsesi pada diri sendiri. Narsistik sejati.
Masalahnya, Raina tidak suka arti tatapan itu dan ke mana Dokter Petra akan membawanya. Dia hanya berharap mobil yang dia tumpangi tidak menuju tempat terpencil dan jauh dari jalanan ramai–jika Dokter Petra betul-betul menculiknya.
Syukurlah, ketakutan Raina tidak terbukti. Setelah berbelok melewati jalan gang kecil, mereka akhirnya kembali ke jalur utama. Beberapa saat kemudian, mereka sudah duduk berhadapan dalam sebuah kafe pinggir jalan yang terbilang cukup megah. Kafe itu bukan tempat menongkrong biasa karena menyediakan beragam makanan ala eropa yang daftar menu dan harganya membuat kening Raina berlipat ganda.
“Saya enggak lapar, Dok.” Jawaban Raina justru membuat Dokter Petra naik pitam. “Enggak usah sok-sokan diet, deh. Saya paling enggak suka sama orang yang pilih-pilih makanan dan enggak mau disuruh makan.”
Tampang Raina kecut. Dia semakin merindukan Pak Anugerah. Raina akhirnya memilih menu vegetarian yang insyaallah dia yakini halal. Raina pun berpikir dua kali untuk meminta pendapat Dokter Petra, ibarat gadis kecil yang kebingungan memilih menu makan malamnya sendiri. Kasihan.
“Sebetulnya, Dokter mau bicara apa?”
“Makan dulu,” suruh Dokter Petra. Saat itu bertepatan dengan momen seorang pramusaji mendorong kereta makanan keluar. Dokter Petra cuma mendelik pada menu pilihan Raina yang seakan tersembunyi di antara tumpukan makan malamnya. Dokter Petra langsung mengambil pisau dan garpu begitu hidangan disajikan di hadapannya.
“Ini bukan pembicaraan yang bisa dilakukan sambil lalu.”