Irama pelayanan yang serbacepat dan tanpa henti membuat fisik Raina babak belur. Padahal, baru dua hari dia mondar-mandir di klinik pusat. Namun, sebetulnya ada yang lebih berat dari itu, yakni pertemuannya dengan Dokter Petra kemarin sore. Raina bagai bermimpi saja. Rencana apa lagi yang Dokter Petra persiapkan untuk menekan mentalnya? Beban ini rasanya tak sanggup dia tanggung sendirian. Beban yang seharusnya bisa dia bicarakan dengan orang lain, terutama Pak Anugerah.
Duh. Baru sehari pula, dia bagai sudah tidak bertemu Pak Anugerah selamanya. Perasaan kehilangan itu pun kian menjadi karena Raina sama sekali tidak bisa berkomunikasi dengannya. Raina sendiri tidak tahu apakah Pak Anugerah masih sudi untuk bertemu. Gara-gara dia, lelaki itu dikenai sanksi oleh perusahaan.
Mungkin, kesialan demi kesialan ini terjadi karena Raina pergi ke Surabaya tanpa restu ibunda. Andai dia menurut, mungkin juga hatinya masih terjaga dan tidak ternoda oleh cinta yang tidak sepantasnya. Oh, terlalu banyak kata ‘tidak’ bagi Raina hari ini yang dia andai-andaikan. Andai dia tidak pernah jatuh cinta dan mendarat di hati yang salah.
Pak Anugerah, Raina kangen ….
DDDRRRT! DDDRRRT!
Getaran gawai memutuskan lamunan Raina. Pipinya bersemu merah setelah kembali pada kenyataan. Meskipun enggan, Raina tetap meraihnya. Benda itu ada dalam tas dan getarannya seperti gempa bumi kecil. Buruk sekali jika Ibu meneleponnya sekarang. Semoga saja bukan. Raina berharap itu adalah Pak Anugerah, tapi mustahil karena Raina tidak yakin lelaki itu diam-diam menyimpan nomornya.
Akan tetapi, Raina malah dimasukkan dalam sebuah panggilan grup. Wajah Yenni, Elly, dan Amanda seketika terpampang di hadapannya. Raina terlalu naif jika berharap mereka akan merindukannya. Sebaliknya, dada Raina jadi berdegup memandang raut mereka yang tidak menyiratkan belas kasihan.
“Halo, Raina. Sorry, aku ajak Amanda dan Elly gabung sekalian biar semua clear.” Yenni menyapa di seberang dengan canggung. Kemudian, tidak butuh waktu lama bagi Amanda untuk terpancing.
“Raina … cerita, deh, yang sebenarnya. Ada apa antara kamu sama Pak Gege?” Nada suara gadis itu meninggi. Kilat matanya seolah menembus layar. Amanda sedikit mirip dengan Dokter Petra dalam perihal keterusterangan. Keduanya sama-sama lancang, bahkan bagi ukuran Raina yang cenderung keras layaknya iklim Kalimantan. Raina mungkin berharap terlalu muluk jika ada bahu nyaman yang menyediakan tempat bersandar baginya saat ini.
“Bukankah, kalian sudah tahu dari Mbak Yenni?” jawab Raina berat hati.
“Iya, kamu bikin masalah apa sama dia?” cecar Amanda tidak puas. “Pak Gege sampai kena peringatan karena kamu.” Tidak perlu diingatkan berkali-kali pun, Raina takkan lupa.
“Kayaknya, aku bikin dia marah.”
“Kok bisa?”
“Aku … aku enggak sengaja bicara kasar waktu …” ‘Wajah Yenni-Elly-Amanda membesar di layar, sementara Raina memejamkan mata seraya menggeleng. Rasanya, dia tidak sanggup melanjutkan pembicaraan dan ingin mematikan telepon saja, tetapi beban di dadanya telah meluap.
“Pak Gege melecehkan kamu?” Kata-kata Amanda memulai kekacauan. Suasana menjadi tidak terkendali. Yenni, Elly, dan Amanda lantas berebut memaksa Raina bicara untuk meluruskan asumsi yang mereka ciptakan sendiri. “Benar itu, Raina?” “Kamu bisa lapor polisi jika kejadiannya begitu. Kenapa diam saja?” “Aku punya teman pengacara–”
Raina frustrasi. Akan lebih mudah jika dia biarkan saja kesalahpahaman itu berlanjut. Nama baiknya tetap terjaga, meskipun berarti Pak Anugerah menjadi korban fitnah. Namun, hati kecilnya memperingatkan, Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan, Raina. Ya, dia tidak boleh melakukan itu karena melanggar prinsip dan keyakinannya.
“Cukup! Kejadiannya tidak seperti itu. Tuduhan kalian tidak benar,” tutur Raina gemetar–keringat pada telapak tangannya meninggalkan jejak kabur pada permukaan layar gawai.
“Tidak benar gimana?”