Dokter Kartika mungkin masih ingat betul wajah orang yang pernah menusuk kulitnya dulu hingga meninggalkan bekas memar kebiruan akibat pecah pembuluh darah yang disebut hematom. Bekas itu akan tampak jelek dan nyeri selama satu minggu. Namun, Raina melihat ada jenis ketidaksenangan lain dalam tatapan perempuan itu kala dia tertangkap basah mengobrol dengan Dokter Petra. Mungkin, saat itu situasi mereka sangat mencurigakan karena baru keluar dari satu ruangan yang sama. Seolah-olah Raina adalah perempuan yang mudah menempel pada seorang lelaki dan mencurinya tanpa izin. Apalagi itu bukanlah lelaki biasa, tetapi dokter kesayangan satu perusahaan. Anak emasnya Dokter Kartika.
Sekali lagi, Raina pun sangat menyesal karena tidak berhati-hati menjaga izzah-nya dari prasangka buruk orang lain.
“Dokter Kartikaaa.” Dokter Petra memang pandai menutupi segala bentuk ketidakwajaran. Dia lekas menghampiri perempuan nomor satu tersebut, lalu Raina agaknya harus membiasakan diri menyaksikan salam cipika-cipiki yang mungkin wajar dalam ukuran Dokter Petra. Untunglah Raina tidak perlu berlama-lama melakukannya karena akan meninggalkan Surabaya dalam hitungan hari. Sementara itu, Dokter Petra bisa keluar kapan saja untuk mewujudkan rencananya menjadi pesaing Rumah Cantik Kartika. Bukan urusannya, Raina lekas kabur tanpa sadar ekor mata Dokter Kartika terus mengikutinya hingga menghilang di ujung lorong.
Hari berikut dan berikutnya lagi, Raina jauh lebih waspada, jangan sampai dia berpapasan dengan Dokter Kartika di momen dan tempat yang salah. Meskipun itu artinya harus mengendap-endap di belakang Dokter Dewi, Dokter Sella, dan Dokter Libby yang bertubuh besar atau berpura-pura berbelok ke apotek saat Dokter Kartika menuruni tangga menuju lobi di bawah. Kulit Raina panas jika berbalas tatap dengan perempuan itu. Dia memilih menghindar. Alasan utamanya, Dokter Kartika pasti yang menentangnya lulus training dengan lancar. Raina adalah orang ketiga yang merusak hubungan pendiri perusahaan dengan tangan kanannya. Alasan itu pula yang menegaskan bahwa dia tidak boleh sekalipun jatuh dalam perangkap Dokter Petra. Raina bukanlah pengkhianat.
***
Sehari sebelum kepulangannya ke Banjarmasin adalah hari sibuk yang biasa. Antrean pasien di klinik pusat takkalah panjang dari nomor antrean nasabah bank. Bedanya, di sini pasien menunggu dengan manis di ranjang-ranjang perawatan yang berjajar dan dipisahkan oleh kubikel. Dia memang baru dipanggil setelah para beautician selesai menangani mereka, tapi tetap saja rasanya bagai menggilir layanan secara kilat. Hanya ada sapaan formalitas tanpa interaksi mendalam seperti halnya di klinik Darmo. Namun, Raina tetap mengutamakan ciri khasnya, yaitu hasil pekerjaan yang rapi dan telaten. Tidak heran jika nasibnya di sini sama saja. Dia adalah dokter konsultan yang diperebutkan oleh beautician dan pasien. Namun, anehnya, tidak ada Dokter Petra yang merasa tersaingi kali ini. Dokter Dewi, Dokter Sella, dan Dokter Libby malah bersenang-senang di atas kerja kerasnya.
Ah, tentu saja. Dia, ‘kan, tidak dibayar. Namun, Raina kemudian tahu bahwa dirinya sangat berharga di mata seseorang.
Pada siang hari yang padat, Raina memperoleh kemewahan berupa giliran istirahat di basecamp bersama Dokter Libby. Saat itulah, Raina merasa bahwa dia ditakdirkan pergi terlampau cepat dari Rumah Cantik Kartika.
“Dok Raina benar-benar harus pulang ke Banjarmasin besok?” Mendadak, Dokter Libby bertanya dengan pipi yang sudah basah digenangi air mata. Raina terkejut lantaran dokter junior berpipi tembam tersebut terkenal ceria dan membawa kehangatan di sekitarnya. Namun, perempuan yang ada di hadapannya sekarang terlihat begitu rapuh bagai lapisan perona tipis. Maskaranya pun luntur meninggalkan jejak hitam yang menyedihkan.
Raina bertanya-tanya, mengapa perempuan menyenangkan seperti Dokter Libby sampai berduka atas kepulangannya hingga sejauh itu?
“Aku capek lahir batin, Raina,” keluhnya sungguh tak terduga. Dia mengusap air mata yang menetes liar lewat hidung dengan suara berisik.