Tidak Apa-apa Tidak Sempurna

Ravistara
Chapter #24

Pupus

Bandara internasional itu rasanya terlalu sempit bagi Raina untuk melarikan diri, meskipun Raina tidak yakin ingin kabur ke mana. Ini bukanlah film atau kisah-kisah dalam novel, di mana sang pemeran utama akan dikejar oleh cinta sejatinya sesaat sebelum pesawat yang dia naiki lepas landas. Terlalu indah untuk terwujud jadi kenyataan. Raina bahkan ragu jika dia sungguh-sungguh memiliki cinta seperti itu. Cinta yang memperjuangkannya hingga titik penghabisan. 

Akan tetapi, Raina kini merasa sedang berada dalam sinetron azab. 

“Kebetulan sekali kita bertemu di tempat ini.” Dokter Petra menaruh ranselnya di kursi kosong, sementara dia sendiri duduk dengan tangkas di sebelah Raina. Bahu gadis itu melorot. Raina otomatis mematikan layar gawai dan menggenggam benda itu erat karena masih menunggu balasan pesan dari Pak Anugerah.

“Kapan pesawatmu berangkat?” Dokter Petra bersandar santai sambil bertopang siku di sisi Raina. Sedapat mungkin Raina menahan diri untuk tidak bergerak panik. Masih aman selama lelaki itu tidak berusaha menyentuhnya. Sepengetahuan Raina, mereka berdua memang tidak pernah berada cukup dekat dalam zona gravitasi yang membuat mereka saling tertarik. Justru, sebaliknya. 

Dokter Petra menjawab telepon yang berdering hingga Raina bisa terlepas sejenak darinya. Namun, Raina lantas mengernyit karena lelaki itu terdengar memarahi lawan bicaranya di seberang dan menggerutu panjang lebar mengenai pengaturan waktu dan lain-lain. Raina berusaha menulikan telinga agar tidak terganggu oleh adegan toksik di sebelahnya. Sisi temperamental Dokter Petra sudah cukup sering dia saksikan di klinik dan kebetulan dia sendiri yang menjadi korbannya. Maka, Raina tidak ingin mengulang masa kelam. 

Sorry, tadi pacar saya.” Dokter Petra menjelaskan setelah menutup teleponnya dengan mimik sinis seakan menertawai diri sendiri. Raina menarik napas. Dia memang sudah menduga sejak dulu bahwa Dokter Petra menganggapnya sebagai kotak sampah sehingga enteng saja membuka aib sendiri di hadapannya. Sungguh gadis yang malang, pikir Raina. Namun, dia tidak tertarik untuk ikut campur urusan pribadi rivalnya. Raina pernah mendengar nasihat bahwa curhat pada lawan jenis adalah pintu awal menuju perselingkuhan. Tidak, terima kasih. Raina tidak sudi melibatkan diri. 

“Pesawat Dokter kapan berangkat?” Pertanyaan tadi Raina tujukan untuk mengusir, tetapi lelaki yang baru saja memarahi pacarnya di telepon, tentu tidak peka. Dokter Petra menengok arloji seraya mengangkat alis. “Masih lama lagi. Cari makan dulu, yuk!”

Huh, kenapa mereka jadi pergi makan bersama? 

Raina mencari celah-celah untuk menghindar dan tanpa sengaja dia membalas tatapan Dokter Petra yang sedang menunggu jawabannya. Lelaki ini baru saja memarahi pacarnya, cam Raina. Sementara, dia sendiri sedang gelisah digantung oleh Pak Anugerah. Suasana hati mereka berdua benar-benar buruk. 

“Kenapa kamu mandangin saya gitu? Saya enggak mengajak kamu ke kamar hotel, kok.”

Darah Raina mendidih. Dia butuh sesuatu untuk mendinginkan emosi yang langsung membeludak. “Ayo!” Raina beranjak lebih dulu. 

“Raina, hei! Ke mana?” Dokter Petra menyambar ransel menyusulnya. 

“Ya, cari makanlah!” sungut Raina kesal setengah mati. Dokter Petra pun menyeringai lebar, puas mengerjainya.

 ***

Lihat selengkapnya