Langit mendadak muram dan kilat sesekali menyambar selagi Raina memacu sepeda motor di jalan raya. Berbeda dengan para pengendara lain di sekitarnya yang ingin lekas pulang, Raina hanya ingin berlari dari kenyataan sehingga pikirannya seakan terbang. Luka di hatinya belumlah sembuh, tapi kini kembali berdarah karena Pak Anugerah muncul di hadapannya.
Saat motornya berbelok dengan selamat memasuki halaman rumah, gerimis pun turun. Namun, Raina tersadar bahwa ada hal lain yang singgah di kediamannya saat itu. Sudut matanya menangkap sebuah taksi yang melambat lantas berhenti di tepi jalan. Perasaan Raina tidak enak, lalu akhirnya meledak ketika melihat Pak Anugerah turun dari sana. Lelaki itu mengikutinya diam-diam ke rumah! Sesaat, tatapan keduanya bertemu dan Raina gentar. Dia tidak bisa terus–terusan berlari. Tidak hari ini.
Lelaki itu tertegun di sisi taksi yang menunggu di depan. Raina harap, Pak Anugerah akan berubah pikiran. Namun, lelaki itu malah menyuruh sang sopir pergi, lantas mendekat ke arah Raina yang terpancang di halaman.
“Mana koper Bapak?”
Situasi ini bagai mengulang pertemuan pertama mereka. Pak Anugerah mendesah. “Tertinggal di klinik. Akan saya ambil nanti.”
“Ambil sekarang, Pak.” Dengan bahasa tubuh yang gelisah, Raina seolah meminta lelaki itu lekas pergi. Namun, Pak Anugerah menggeleng. “Tidak perlu. Nanti saja.”
“Bapak juga masih punya urusan dengan owner saya dan Dokter Petra.”
“Anggraina. Saya tidak akan ke mana-mana. Saya ingin bicara dengan kamu sekarang.”
Raina melirik takut-takut ke arah rumah. Kondisi mereka mulai agak basah, tetapi gadis itu enggan beranjak maupun mempersilakan lelaki di hadapannya naik ke teras berundak menyerupai panggung rendah. Apa yang mesti Raina lakukan? Kentara sekali bahwa Pak Anugerah tidak akan pergi walau diusir.
“Saya tegaskan lagi, saya resign, Pak. Saya bersedia membayar denda sebagai konsekuensinya.” Raina memohon.
Namun, Pak Anugerah lagi-lagi menggeleng. “Saya mampir ke sini bukan untuk bicara soal pekerjaan atau kontrak kamu.”
Raina makin gelisah. Dia menahan dorongan hati untuk kabur. Sebaliknya, Raina menarik kerudungnya seakan ingin menyembunyikan diri di baliknya dan semoga Pak Anugerah paham. Sebesar apa pun perasaannya terhadap lelaki itu, ada tabir tebal yang menghalangi keduanya.
“Dokter Petra bilang, Bapak mengikuti kami waktu dia menjemput saya di WR Supratman.”
“Ya.”
Raina bagai tersambar petir. Tidak menyangka jika Pak Anugerah benar-benar ada di momen itu. Namun, seketika Raina merasa marah.