“Kamu tidak bilang kalau dia sudah dilamar orang!” Paman marah ketika mendengar cerita Raina. Taaruf hari itu dibatalkan meskipun mereka akhirnya menanggung malu akibat kesalahpahaman yang telanjur terjadi. Sang paman tidak berani memaksa perasaan Raina yang sudah berkecambah di lain hati.
“Laki-laki itu bukan muslim yang taat. Latar belakang keluarganya dari berbeda keyakinan. Orang tuanya pun kawin lari.” Ibu berusaha membela diri.
“Benar itu, Raina?” Paman mendelik tajam dan Raina tak mampu berbuat apa-apa. Dia hanya menyesap isak tangis pelan. Andaikan dia dan Pak Anugerah memang sulit berjodoh, Raina berharap dia diberikan kesempatan untuk memulihkan diri dahulu sebelum siap menerima kehadiran sosok lain dalam hidupnya. Dengan berat hati, Raina mengangguk.
“Tapi, Pak Anugerah bilang, dia akan serius belajar mulai sekarang.”
“Kamu percaya ucapan sebatas di bibir?” tohok Ibu tajam.
“Dik.” Paman menengahi suasana yang mulai tidak kondusif. “Laki-laki itu punya hak jika betul apa yang disampaikan oleh Raina. Jika kamu memaksa Raina menerima perjodohan tanpa persetujuan anaknya, kamu keliru. Rasulullah salallahu’alaihi wassalam melarang perbuatan tersebut.” Paman menasihati. “Lebih baik, selesaikan dulu urusan lamaran yang pertama. Tunggu jawaban Raina.”
“Baik, kalau begitu.” Ibu menatap Raina dengan serius. “Jika laki-laki itu memang sungguh-sungguh ingin melamar kamu, dia harus datang bersama keluarganya, Raina.”
***
Syarat yang diajukan oleh Ibu amat sulit, hingga Raina sempat ragu untuk meneruskan. Namun, Pak Anugerah ternyata menyanggupi.
Prosesi lamaran yang cuma dihadiri oleh dua keluarga kecil itu ternyata menguji mental. Ibu kelihatan syok saat berkenalan dengan seorang adik perempuan Pak Anugerah yang lengannya bertato dan telinganya ditindik. Beruntung, penampilan ibu dan satu lagi adik perempuan lelaki itu cukup kalem, walaupun tidak tertutup. Kepala keluarga mereka tidak ikut. Meskipun tidak mengiakan saat mendengar rencana Pak Anugerah untuk meminang seorang muslimah, sang ayah juga tidak melarang, sama ketika mengetahui kemualafan putranya. Tampaknya, lelaki itu sedang berproses untuk menerima kenyataan. Karena itulah, Pak Anugerah berhasil menghadirkan keluarganya hari ini, meskipun tanpa sosok sang ayah.
Kedua adik perempuan Pak Anugerah mendekati Raina tatkala gadis itu sedang menyiapkan hidangan di dapur. Mereka berdua bersikap sangat ramah dan memeluknya hangat. “Terima kasih karena kamu sudah ada buat Mas Gege. Kami sempat khawatir dia akan melajang selamanya setelah ditolak oleh dokter itu.” Dokter Carissa. Raina sedikit cemburu, tapi penasaran. “Apa alasannya ditolak?”
“Kamu bisa lihat sendiri, Mas Gege itu enggak ganteng.”
“Galak, pula!” Keduanya tertawa seolah-olah membahas sesuatu yang lucu. Raina hanya tersenyum masam. Nilai Pak Anugerah mungkin cuma tujuh, tapi dia adalah lelaki sejati di mata Raina–setelah almarhum ayahnya.
“Enggak, ah.” Raina memprotes. “Pak Anugerah bakal tambah ganteng, kok, nanti setelah menikah dan disayang-sayang.”
Lelucon Raina yang bucin membuat suasana dapur gaduh. Raina diminta mengulangi ucapannya untuk direkam, tapi saat itu juga sang paman memanggil dirinya untuk keluar selagi dirongrong oleh kedua adik perempuan Pak Anugerah. Raina pun ditodong sebuah pertanyaan.
“Anugerah meminta kamu jadi istrinya, Raina. Apa jawaban kamu?”
Raina malah terdiam, hatinya berbunga-bunga karena lelaki itu sedang tersenyum padanya. Dia juga bingung menghadapi kedua adik perempuan Pak Anugerah yang sedang merekam momen penentuan tersebut dan fokus pada wajahnya.
“Please, jangan tolak kakak kami, Raina. Keluarga kami butuh perbaikan keturunan agar lebih ganteng dan cantik di masa depan.”
Raina menahan tawa menyaksikan wajah Pak Anugerah yang memerah. Sepertinya, dia harus meluruskan sesuatu. “Insyaallah, saya menerima Pak Anugerah jika bersedia belajar menjadi imam saya dunia dan akhirat.”