Tidak Apa-apa Tidak Sempurna

Ravistara
Chapter #12

Tahu Diri

Tidak ada makan malam. Raina menolak ketika Pak Anugerah menawarinya untuk mengisi perut dengan hidangan berat. Napsu makan Raina sedang menguap. Alih-alih lapar, dia merasakan emosi yang bercampur aduk setelah mengetahui identitas Pak Anugerah. Padahal, sebelumnya Raina tidak pernah ambil pusing apalagi repot-repot terlibat dengan orang asing. Namun, entah kenapa fakta mengenai lelaki tersebut berhasil mengusiknya. 

Suasana hening dalam mobil sama sekali tidak membantu. Waktu seolah membeku. Namun, jejak lampu yang berkilauan pada kaca dan memantul di jalanan menyadarkan Raina bahwa dunia luar masih bergerak. Bukan dalam ukuran kecepatan cahaya, melainkan merayap perlahan, hingga Raina merasa dia sedang berada di puncak ketegangan dalam kisah sebelum tengah malam. Raina tahu bahwa dia tidak bisa diam selamanya menunggu penyelesaian ajaib jatuh dari langit. Bukan seperti itu cara kerja di kehidupan nyata.

“Pak, saya boleh tanya sesuatu?”

Suaranya nyaris tenggelam dalam deru mesin. Raina tidak yakin Pak Anugerah mampu mendengar. Sampai kemudian terdengar suara di sampingnya. “Silakan.”

Lagi-lagi, Raina menerima jawaban pendek. Transformasi lelaki itu makin terasa jauh dari kesan ramah sebelumnya. Raina khawatir jika Pak Anugerah mulai lelah menghadapi dirinya. Pak Anugerah pun kelihatannya bukan seorang people pleaser. Kebaikannya pada Raina malam ini, pasti ada alasan.

“Sore tadi, di musala, saya enggak sengaja lihat Bapak.” Raina menggigit bibir sambil melirik hati-hati. Ekspresi lelaki itu menegang.

“Saya tidak tahu ada Dokter saat itu. Saya sedang melakukan pengecekan rutin biasa. Saya minta maaf, Dok. Saya anggap, saya tidak melihat apa-apa.”

“Pengecekan rutin?” Dari cara Raina bertanya, gadis itu seolah tidak percaya pada penjelasan lelaki itu. 

“Dokter masih baru di sini, jadi Dokter mungkin belum tahu jika Dokter Kartika sangat detail memperhatikan kliniknya. Setiap kali datang ke klinik, beliau akan memeriksa semua tempat, termasuk musala yang sering Dokter gunakan untuk salat. Kebiasaan itu lalu menular ke manajemen. Kami hanya tidak ingin Dokter Kartika menemukan kesalahan sekecil apa pun.”

Jawaban panjang lebar tersebut sungguh di luar dugaan Raina. Dia berpaling sepenuhnya mendengarkan pembicaraan lelaki itu untuk memastikan keseriusan dalam ekspresi Pak Anugerah. Raina mencoba menerka hal apa yang patut Dokter Kartika khawatirkan tentang ruangan sempit musala yang hanya muat untuk  satu lajur saf tersebut. Debu di karpet mengandung tungau penyebab alergikah? Sajadah dan mukena yang jarang dicucikah? Atau keran tempat wudu sering bocor? Tidakkah semua kekhawatiran semacam itu berlebihan seakan-akan musala sekalipun tidak lepas dari pengawasan mata jeli pihak manajemen? Beragam pertanyaan konyol pun berjejalan di kepala Raina.

“Dokter Kartika punya obsesif kompulsif atau penggila kebersihan?” Raina keceplosan dan terlambat menarik kembali kata-katanya, tetapi Pak Anugerah hanya melebarkan matanya sesaat pada jalanan di luar. Raina anggap, isyarat kecil itu adalah sebuah pembenaran. Itulah yang sesungguhnya terjadi. Prasangka Raina melenceng jauh. Sungguh, Raina tidak menyangka jika dia akan berhadapan dengan orang-orang yang sulit di Rumah Cantik Kartika, terutama sang pendiri perusahaan. Raina mengira owner-nya di Kalimantan saja yang bermasalah. Namun, Raina lekas tersadar bahwa bukan hal itu sebetulnya yang ingin dia ketahui. Musibah tetaplah sebuah musibah, meskipun atas dalil ketidaksengajaan. Raina masih tidak rela.

“Tapi, Bapak tahu, kan, waktu itu saya masih di dalam? Bapak bisa lihat ada sepatu di luar.”

“Maaf, saya tidak tahu, Dok. Saya pikir, itu punya Ibu Lilian yang ketinggalan.”

Penilaian Raina menjadi rancu. Jawaban Pak Anugerah justru menggiring prasangkanya ke arah lain. “Oh, kebetulan saya punya sepatu yang sama dengan Ibu Lilian, ya? Waktu itu, Bapak sedang mencari Ibu Lilian dan tidak menyangka kalau saya yang ada di sana?”

Lihat selengkapnya