“Tapi, gue deg-degan banget, Ga.” Aku memegangi ponselku, sesekali meremas benda berwarna gold itu. “Ini kali pertama gue nonton di stadion. Lo juga tahu, kan, gue terakhir merhatiin bola Indonesia kapan? Itu waktu ngabur ke Sawangan sama lo. Tahun 2009. Cuma nonton latihan Timnas doang. Nggak dibolehin nonton di stadion sama bokap gue.”
“Udah lama banget itu. Di lapangan Pelita Jaya, kan? Di Depok kalau nggak salah. Zamannya Markus Horison jadi kiper Timnas.”
“Nah, itu! Zamannya Charis Yulianto, Ponaryo, Aliyudin. Kalau sekarang, rata-rata udah pada ambil lisensi jadi pelatih sepak bola kali, ya?”
“Iya, yang masih main kayaknya Bambang Pamungkas sama Ismed Sofyan. Oh, ya, Maman Abdurahman juga, deh, ya?”
“Itu! Itu!” Aku memegang bahu Aga. “Gue bahkan nggak ngerti sepak bola sekarang kayak gimana. Jaraknya jauh banget, sekitar delapan tahun udah nggak perhatiin bola Indonesia lagi.”
“Iya, dan karena bokap lo nggak pernah izinin nonton di stadion langsung, akhirnya, ya, harapan lo nonton, pupus gitu aja. Milih nonton di TV, sampe pada akhirnya lo bosen. Lupa sama hobi lama lo,” Aga menimpali.
Aku antusias menatap sahabatku sedari kecil. “Nah, sekarang, kenapa gue niat ke stadion? Semua karena akhir-akhir ini gue follow Instagram tim kesukaan gue itu. Dan, gue jadi nostalgia. Pengin tahu aja perkembangannya gimana. Serius. Gue udah nggak update juga selama delapan tahun terakhir.”
“Yang penting nanti di Stadion Pakansari ada idola lo, kan?” Wajah Aga terlihat ikut bahagia. “After all this time, Bel. Lo bisa lihat Bambang Pamungkas lagi.”
Aku mengangguk penuh kebahagiaan. “Kayak mimpi aja, ya? Gue bisa ketemu dia. O iya, sebenernya, yang bikin gue deg-degan, gue nggak pake baju jersey, sih.”
“Lo nonton di VVIP, nggak ada yang lihatin. Emang lo punya bajunya? Nggak, kan?”
Aku tertawa malu. “Ya, nggak punya, sih. Tapi, lucu aja. Hari ini, 8 Juni 2017, tim gue lawan PSTNI2. Dan, gue pada akhirnya bisa nonton tim sepak bola kesukaan gue. Langsung di stadion. Nggak cuma nonton di TV. Setelah mohon-mohon sama bokap gue. Karena stadionnya deket banget sama rumah kali, ya?”
“Dan, karena lo di bawah pengawasan gue!” Aga terkekeh, dia sengaja meninju kecil bahuku. “Karena gue sama bokap lo sesama pencinta Manchester United, jadi kami saling percaya. Nanti kalau udah selesai tandingnya, lo telepon gue, ya. Supaya langsung gue jemput.”
Aku tersenyum dan segera membuka pintu mobil milik Aga. “Thanks, Ga, kalau bukan karena lo, gue nggak bisa ketemu sama Bambang Pamungkas!”
Aga membalas senyumku. Belum sempat aku melangkah turun dia langsung menarik lenganku. Dia melepas jaketnya, meminta aku membawa serta jaket itu ke dalam stadion. “Kenapa gue harus pake? Di sana, kan, nggak dingin.”
“Sekarang udah malem dan di stadion pasti dingin. Lo di VVIP, pasti lebih sepi daripada tribun biasa. Mungkin bakalan lebih dingin di sana,” dia berucap, kali ini dengan tatapan sangat serius. “Lo bawa jaketnya dan setelah itu gue bakalan jemput lo atau lo nggak bawa jaketnya dan setelah itu lo pulang sendirian?”
Kalau sudah dengan nada ancaman seperti ini, aku tahu bahwa Aga tidak mau menerima jawaban tidak. “Oke, gue bawa. Jangan ngancem gitu, dong, gue takut, kan. Gue bilangin bokap gue, nih!”
“Oh, mainnya ngadu sekarang.” Jemari Aga mengacak-acak rambutku. “Ya udah, masuk ke stadion sekarang. Sebentar lagi mulai, tuh, tandingnya.”
Aku merapikan rambutku sembari turun dari mobil. Kemudian, aku berjalan menuju loket untuk menukarkan e-ticket menjadi tiket dalam bentuk kertas. Seusai tiket tipis kecil itu ada di tangan, aku memasuki tribun VVIP. Sungguh, langkahku sebenarnya sangat gemetar kala itu. Terutama ketika pada akhirnya, aku merasakan atmosfer menyaksikan tim sepak bola kesukaanku berlaga. Untuk kali pertama. Selama delapan tahun terakhir.
Dalam derap langkah kaki saat menaiki setiap tangga menuju tribun VVIP, ada gejolak aneh yang meletup di dadaku. Aku melihat ratusan bangku untuk pemilik tiket VVIP. Aku duduk di sana. Menyaksikan ribuan pendukung tim sepak bola kesukaanku menyanyikan lagu-lagu suporter. Lagu itu menyatu dengan suara perkusi yang mereka dengungkan.
Aku sungguh duduk di sini. Dan, di lapangan hijau sana ada pemain sepak bola kesukaanku sejak dulu, Bambang Pamungkas. Dia masih sehebat dulu. Maksudku, memang aku tidak mengikuti karier sepak bolanya selama rentang waktu delapan tahun ini, tapi mengapa pesonanya masih begitu merasuk seperti kali pertama aku melihat dia latihan Timnas di Lapangan Pelita Jaya?