Tidak Pernah Ada Kita

Bentang Pustaka
Chapter #3

Sebuah Pertemuan

“Acaranya rame banget!” Seusai turun dari panggung, aku menjabat tangan panitia. “Makasih, ya, udah bikin acara sekeren ini.”

Para panitia turut tersenyum ke arahku, mereka kembali mengantarku ke meja khusus tamu undangan dan pengisi acara. Aku baru menyelesaikan talk show mengenai buku terbaruku. Riuh para peserta acara di ballroom Salak Tower Hotel, Bogor, masih terngiang jelas di kepalaku.

Aku tidak bisa menghapus rasa antusias mereka ketika menanyakan buku terbaruku. Biasanya pertanyaan mereka berhubungan dengan inspirasi selama menulis novel, proses menyelesaikan novel, dan yang paling canggung aku jawab adalah ketika mereka menanyakan apakah novel yang ditulis berdasarkan kisah nyata.

Ketika menjawab pertanyaan yang terakhir, aku sering kali tersenyum sesaat. Memperhatikan setiap wajah penasaran dari peserta acara. Memandangi setiap bola mata peserta acara yang tidak sabar menunggu jawabanku. Biasanya aku menimpali dengan pertanyaan yang aku bikin sendiri, “Kalian mau jawaban yang jujur atau yang bohong?”

Mereka semua antusias menjawab, “Yang jujur, dong, Kak!”

Aku mengangguk mengerti, kemudian bersuara lagi, “Percuma udah jujur kalau nggak diajak jadian, kan?”

Tawa mereka terdengar riuh. Aku bisa menebak bahwa yang mereka tertawakan sebenarnya bukanlah jawaban candaanku, tapi mereka tertawa karena ada pengalaman nyata yang dirasakan di balik candaan tersebut. Lalu, setelah menimpali candaan itu, baru aku kembali menarik perhatian peserta untuk menjalin percakapan yang serius lagi.

Acara talk show buku selesai pukul 2.00 siang. Seusai itu, aku berjanji menemuimu di Bandara Soekarno-Hatta pukul 5.00 sore. Aku tahu, aku harus melawan macetnya Jakarta menuju bandara hanya agar bisa menemuimu. Tapi, karena padatnya jadwalmu, akulah yang harus mengalah.

Aku sungguh tidak sabar bertemu denganmu lagi, menatap mata sipitmu lagi, memegangi lenganmu yang keras dan berisi. Aku sungguh tidak sabar untuk menyusun percakapan denganmu. Karena setiap kita bertemu, selalu ada pertanyaan lugu yang kau ajukan kepadaku. Tentang apa pun. Tentang pekerjaanku, tentang kampusku, tentang jurusan kuliahku. Dan, sering kali kubalas dengan pertanyaan polos kepadamu. Tentang segalanya. Tentang dunia sepak bola yang kamu geluti, tentang hobimu, tentang buku-buku yang kamu baca.

Melalui chat di WhatsApp kamu mengabari bahwa pesawatmu sudah landing. Aku menghela napas, tidak sabar untuk bertemu denganmu. Segera saja aku bergegas ke toilet. Merapikan rambutku, lipstik, dan baju yang aku kenakan. Aku mungkin tidak terlihat sempurna karena kelelahan masih menempel di tubuhku.

Ponselku berdering. Jelas namamu tertera di layar, kamu langsung menyapa ketika aku menerima panggilan telepon darimu, “Udah sampe?”

“Udah, bagasi aku soalnya udah dibawa sama anak-anak official yang tadi berangkat duluan. Makanya, aku sama temenku yang lain nggak nunggu bagasi,” ucapmu pelan. “Kamu di mana?”

“Di depan kamu.” Aku tertawa gemas dan menutup teleponku. “Gimana perjalanan dari Bali ke sini? Lancar pesawatnya?”

“Ya, kalau nggak lancar, aku nggak ada di depan kamu, dong.” Ketika membalas senyumku, matamu yang sipit itu terlihat hanya segaris.

Kamu langsung menggenggam jemariku, berpamitan kepada seorang teman yang memiliki janggut dan kumis tebal. Aku tersenyum kepada pria itu sesaat sebelum kamu mengajakku berlalu. Cowok itu juga tersenyum ke arahku.

Lihat selengkapnya