Citaprasada Corp.
10.15 AM
“Tuan, nona Cally—” Adam, sang asisten Raphael, berlari masuk kedalam ruangan, bermaksud memberitahu alasan ia kesini.
Dan..
“Raphaaaaaaaaaaaa..” dari kejauhan sebuah suara teriakan manja dari seorang wanita, terdengar menusuk di telinga sang CEO, Raphael.
“Adam, tutup pintu! Jangan biarkan wanita itu masuk, berisik banget!” perintah Raphael kepada Adam.
Adam mengangguk mengerti, dan segera meminta dua bodyguard untuk berjaga didepan pintu ruangan CEO, kemudian ia pun menutup pintu.
Tak lama, terdengar suara orang mengetuk pintu, err— tepatnya menggedor pintu.
Dhuk! Dhuk! Dhuk!!
“Raphaaa! Buka pintunya!! Aku tahu kamu ada didalam!! Buka pintunya!!” terdengar suara teriakan yang lumayan kencang didepan ruangan CEO. Orang-orang yang lewat juga berhenti sejenak untuk mencari tahu siapa yang menggedor pintu atasan mereka dengan brutal.
Raphael yang sedang memeriksa laporan di meja kerjanya, menatap kearah pintu, dan mengernyitkan dahi.
“Tuan, apakah perlu saya panggilkan security? Kalau nona Cally terus-terusan begini, ini bisa mengganggu konsentrasi dan kenyamanan karyawan.” Saran Adam.
Raphael meletakkan pulpennya diatas meja, menghela nafas dan beranjak dari tempat duduknya.
“Tuan?” panggil Adam, sekali lagi.
“Adam, kamu urus saja. Saya mau pulang ke penthouse, mau istirahat. Semalam kurang tidur.” Tutur Raphael seraya pergi meninggalkan ruangan kerjanya.
Ia berjalan didampingi oleh sang supir pribadi, Gino, menuju sebuah jalur, jalur rahasia tepatnya, dan tiba selamat di parkiran mobil. Setelah itu, iapun menaiki mobil Vellfire hitam, dan Gino mengantarnya pulang ke penthouse.
Dalam perjalanan pulang, Raphael menatap keluar jendela, melihat kendaraan yang berlalu lalang tanpa berhenti, dan dirinya tenggelam didalam pikirannya:
“Andai didunia ini ada yang bisa membuat hidupnya lebih tenang, meskipun hanya satu hari saja, alangkah baiknya..”
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Lavani Lalitha Café
10.35 AM
“Eli, kamu dimana?” panggil sang pemilik cafe, Lyla.
“Hei, kak Lyla! Tumben pagi amat kesininya.. Uda berhasil ya sama racikannya?” balas Eli, sembari keluar dari dalam dapur.
“Udah dongg.. mau coba? Aku ga tau ini mau dinamakan apa, tapi coba kamu minum dulu deh.” Tutur Lyla sambil menyerahkan sebuah tumbler bercorak batik kepada Eli.
Eli menerima tumbler, dan segera mencicipi minuman racikan Lyla.
Lyla yang menanti respon Eli, menatap setiap ekspresi wajahnya ketika berusaha mengecap cairan yang baru saja masuk kedalam mulutnya.
“Gimana rasanya, Li? Haduhh, kamu bikin aku deg-degan aja.” Tanya Lyla dengan tidak sabaran.
“Hmm.. Gimana ya cara jelasinnya? Kalo buatku sih, minuman ini enak, aromanya berasa kopi bercampur coklat, dan rasanya pun unik. Ini unik yang bisa diterima di mulut masyarakat luas. Kakak boleh coba bikin dulu 2 atau 3 gelas, bisa kita jadikan tester dan nanti akan diberikan kepada pelanggan yang berkunjung.” Balas Eli sambil tersenyum, dan juga menepuk pundak Lyla.
Lyla mengangguk paham “oke, kamu bantu aku ya?”
“Oke siap boss.”
Mereka berdua pun kembali sibuk di dalam dapur, karena cafe memang dibuka siang, yaitu jam 2 siang.
* * *
Lyla dan Eli memang sudah bersahabat lama, sejak didalam rahim ibu sebutan mereka. Ya, kedua orang tua mereka juga sudah bersahabat sejak usia remaja. Jadi tidak heran kalau kedua wanita ini bisa akrab seperti kakak adik.
Keduanya sepakat membuka café ini, atas dukungan kedua orangtua, dan modal awal pun disponsori oleh mereka. Café ini telah berdiri selama 5 tahun lamanya, dan tahun kedua mereka juga sudah melunasi modal awal dari orang tua, beserta bunganya.
* * *
Setengah jam menjelang café dibuka, mereka telah menyelesaikan minuman racikan, dan membaginya kedalam belasan gelas tester mini.
“Nah, beres!” seru Lyla, sambil mengelap keringatnya.
“Mantap kak! Semoga mereka suka ya.” Balas Eli.
“Harus dikasih nama nih minumannya. Ada ide?”
“Lylav Cofcho.”