Tiga Bintang Paling Terang

Dann
Chapter #2

1. Tiga Bintang

Surabaya, 2024

Bintang-bintang berkilau di langit malam, menghiasi atmosfer bersama bulan yang bersinar terang. Arloji yang melingkar di tanganku menunjukkan pukul enam malam. Aku terus menatap layar laptop di depanku sambil menggigit ujung bibir. Gelembung obrolan terus menerus muncul di layar, membahas topik yang membuatku tubuhku merinding.

Katanya, kalau belum dapat email dari sana, berarti belum pasti.” Salah satu anggota grup obrolan merespon topik yang sudah mengalir sejak dua hari yang lalu.

Punya kakak, gimana? Lolos?” Sebagian bertanya.

Aku di website udah lolos, tapi belum dapat email.”

“Katanya kalau dari tahun lalu, jika di website keterangannya lolos tapi belum dapat email, berarti pasti lolos. Tapi kalau di website tidak lolos dan belum dapat email, berarti ada dua kemungkinan, lolos dan tidak lolos. Semoga kita semua lolos.” Itu adalah gelembung obrolan terakhir yang muncul di layar laptopku. Aku mematikannya, pusing dengan ketidakpastian ini.

Pengumuman beasiswa sudah dari dua hari yang lalu. Banyak hiruk pikuk yang mengatakan jika memang terdapat beberapa kendala saat pengumuman dikirim lewat email para partisipan, sehingga mereka terus dilanda kebingungan jika belum mendapatkan email dari pihak penyelenggara. Aku terus berdoa agar aku bisa bergabung dengan partisipan yang lolos lainnya, namun malam ini aku masih belum mendapatkan email yang dimaksud. Kenapa tidak memeriksa website? Bahkan aku tidak punya keberanian sama sekali untuk itu.

Esok harinya, aku mencoba untuk melupakan hiruk pikuk itu sambil menyibukkan diri di kampus. Kerja kelompok, mengerjakan tugas, dan kelas hingga siang. Kelas terakhir yang dilaksanakan secara tatap muka adalah linguistik. Usai kelas tersebut, aku dan dua temanku pergi ke ruang baca jurusan, perpustakaan kecil milik jurusan kami, mengerjakan tugas yang belum selesai. Ruangan itu lengang, tak ada penjaga, bahkan pengunjungnya saja tidak lebih dari lima (belum termasuk kami).

Kami duduk di depan salah satu rak buku, mulai membuka laptop masing-masing. Kami harus segera mengerjakan tugas, kemudian bersiap untuk mengikuti kelas online mata kuliah literasi digital. Mata kami kering, sudah sering beradu dengan layar laptop yang penuh dengan radiasi. Padahal masih semester awal, namun rasanya sudah membuat kami mabuk bukan main.

Aku tak sengaja membuka obrolan grup beasiswa dan membaca berbagai hiruk pikuk lain. Gelembung obrolan terus saja muncul, bersamaan dengan degup jantung yang membuatku mual dan ingin keluar saja menghirup udara segar.

“Ka!” panggil Iza—temanku yang berambut wolfcut dengan beberapa helainya yang dikuncir ke belakang, katanya agar mirip dengan idolanya. Aku menjawabnya dengan isyarat kepala.

“Gimana beasiswa?” Jika saja di ruangan ini tidak ada orang, kasus pembunuhan pasti akan terjadi di sini dan akulah pelakunya. Pertanyaan itu benar-benar membuatku marah dan akhirnya memilih untuk tidak menjawabnya, berpura-pura tidak mendengarkan.

Iza tidak peduli itu. Usai bertanya, ia langsung kembali fokus dengan tugasnya. Aku bernapas lega jika perempuan itu tidak melanjutkan pembahasan atau aku akan benar-benar membanting rak-rak di sini.

Tiba-tiba, sesuatu terbesit di kepalaku. Aku menggerakkan kursor di layar, membuka aplikasi telusur. Kemudian menuju ke laman beasiswa untuk memenuhi rasa penasaranku. Aku berhasil masuk dan hendak menekan tombol ‘lihat’ di layar untuk membuka bagaimana pengumuman di laman tersebut.

Lihat selengkapnya