Suasana taman kanak-kanak sangat ramai. Anak-anak berlalu lalang, antusias mencoba semua wahana. Perosotan, ayunan, jungkat-jungkit, semuanya mereka mainkan. Aku masih berdiri di depan gerbang, menggandeng erat tangan ibuku, takut. Padahal aku sudah sangat antusias kemarin, tapi jika harus berpisah dengan ibuku, aku tidak bisa. Anak-anak lain di sekitarku menangis, enggan untuk berpisah dengan ibunda mereka. Ah, aku tidak akan pernah menangis. Ini hanya beberapa jam saja. Jam sembilan nanti, ibuku pasti akan menjemput.
“Arka!” panggil ibuku. “Dengerin ibu! Jangan nakal, ikutin semua kata-kata bu guru, dan yang terpenting jangan menangis! Oke?”
Aku mengangguk kuat, lalu salim dengan beliau. Selanjutnya melangkah dengan yakin masuk ke dalam dan berpisah dengan ibuku. Saatnya menunjukkan semua potensi dan talentaku di tempat ini sekaligus membuat orang tuaku bangga.
Dua puluh menit kemudian bel masuk berbunyi. Semua anak dituntun untuk masuk ke kelas masing-masing. Aku duduk di bangku paling depan, dipilihkan oleh salah satu guru yang dekat dengan ibuku dan tentu saja kenal denganku. Pembelajaran dimulai. Kami diajari cara membaca, mengeja, dan melafalkan huruf alphabet. Aku melafalkan setiap huruf dengan semangat.
Tiba-tiba, salah satu guru menunjukku, menyuruhku untuk mengeja dan membaca satu kata di buku latihan membaca. Aku tersenyum, mengangguk hormat terlebih dahulu, lalu membacanya dengan lantang. “Be-a-ba, Ce-a-ca, Ba-ca.”
Semua orang bertepuk tangan, ramai di seluruh penjuru kelas. Bahkan beberapa orang tua yang menemani anaknya—karna anaknya menangis lebih keras jika mereka pergi, ikut terpukau denganku. Aku bangga dengan diriku sendiri. Sebagai apresiasi, guru memberiku bintang kecil yang ditempelkan di lengan. Aku tersenyum gembira sambil melompat kegirangan. Lalu kembali duduk di kursiku, antusias dengan pembelajaran selanjutnya. Jika ada yang disuruh untuk membaca, aku sigap mengangkat tangan, lalu membacanya dengan lantang dan dengan bangga menerima tepukan tangan.
Bel istirahat berbunyi. Semua anak berlarian keluar kelas berebut wahana permainan. Aku naik perosotan dengan tenang. Sampai di atas, aku hanya terdiam sembari menatap perosotan dengan tatapan kosong. Anak lain sudah dua-tiga kali naik-turun perosotan, sedangkan aku masih terdiam di sana bak patung.
Tinggi sekali. Aku takut ketinggian. Melihat anak-anak lain meluncur turun dengan cepat, membuatku membayangkan banyak hal di kepala. Bagaimana jika aku tidak bisa mengendalikan kecepatannya dan akhirnya adu kekuatan dengan paving? Bagaimana jika aku menabrak anak lain yang berlalu-lalang di ujung perosotan? Semua bayangan itu membuatku melangkah mundur. Namun belum sempat turun lewat tangga, salah satu anak tiba-tiba menarik tanganku mendekati bibir perosotan, lalu mendorongku dengan keras saat aku belum sempurna duduk. Aku meluncur dengan cepat, berteriak ketakutan. Sesuai dugaan, aku akhirnya adu mekanik dengan paving.
Aku jatuh terbaring di tanah, sambil menangis kesakitan. Daguku lecet dan gusiku mulai berdarah. Semua orang berdiri melingkar di sekelilingku, hanya melihatku, sesekali berucap, “Hati-hati dong, Nak!” Satu-dua guru membantuku berdiri, lalu membawaku ke ruang guru untuk diobati. Tangisanku akhirnya berhenti. Tapi ucapan dari salah satu orang tua yang bilang jika aku harus lebih berhati-hati membuatku marah. Aku bisa mengerti apa yang ibu itu maksud. Bukannya kurang berhati-hati, tapi anak itu yang jahil, tiba-tiba menarik dan mendorongku. Bukankah ini semua bukan salahku? Anak itu yang bersalah.
✧✧✧
Matahari semakin meninggi. Gerbang TK mulai dipenuhi dengan para orang tua yang akhirnya bertemu dengan anak mereka lagi setelah 3 jam berpisah. Sambil memegang erat lengan ranselku, aku berjalan keluar dengan wajah kesal. Dari kejauhan, ibuku berlari menghampiri. Senyum memgembang di wajahnya. “Bagaimana sekolahnya?”
“Nggak seru!” jawabku kesal.
“Loh, kok nggak seru?”