Kegiatan mengaji akan segera dimulai. Semua anak diantar ke kelasnya masing-masing. Aku mengekor di belakang ustaz yang akan mengajariku mengaji sambil menggendong erat tasku. Lima belas menit yang lalu, ibuku selesai mengurusi pendaftaran, lalu pulang tanpa pamit terlebih dahulu kepadaku. Bahkan aku baru menyadari kepergiannya usai salat asar berjamaah. Anehnya, aku tidak merasakan sedih, mulai terbiasa.
Semua anak duduk di tempatnya masing-masing, termasuk aku yang langsung memenuhi meja paling depan. Di sini, ruang mengaji hanya beralaskan lantai yang dingin. Kami hanya difasilitasi meja panjang untuk tiga sampai empat orang. Dana dan sumbangan dari masyarakat habis digunakan untuk renovasi surau kecil di tengah halaman TPQ.
Mula-mula, kami disuruh untuk membaca Al-Fatihah, kemudian fokus menghadap ke depan dan mengikuti ustaz untuk melafalkan satu persatu huruf. Aku mengikutinya dengan lantang, lebih lantang dari yang lainnya. Bahkan sesekali aku memimpin pelafalan huruf dengan benar, berakhir diberikan pujian oleh uztaz.
Lima menit berlalu. Kami berbaris rapi menjadi satu banjar, mengantri untuk mengaji langsung di depan ustaz. Aku mendapat urutan ketiga. Ruang mengaji mulai berisik. Anak-anak di depanku bergurau sembari menunggu giliran mereka, sesekali menjahiliku yang tengah belajar melafalkan beberapa kata di buku mengaji, sebelum nanti akan dikoreksi oleh ustaz.
Selang beberapa saat, giliranku tiba. Jantungku berdebar cukup kencang. Perasaan ini berbeda dengan mengaji bersama ayahku setiap magrib, padahal keduanya pasti akan memarahiku jika salah dalam melafalkan.
Pelan-pelan, aku melafalkan huruf-huruf yang ada di halaman pertama, lengkap dengan menyebutkan seluruh jenis harakat. Ustaz membuka halaman selanjutnya dan menyuruhku untuk melafalkan beberapa kata yang ia tunjuk secara acak. Beruntungnya, aku bisa melafalkannya dengan tepat. Terus berlanjut ke halaman selanjutnya. Sampai pada akhirnya mengajiku berhenti di halaman lima. Anak-anak di sekelilingku terpukau sembari melihat ustaz menandatangani halaman lima pada buku mengajiku. Beberapa dari mereka kemudian melanjutkan barisan, sebagian lagi mulai mengobrol denganku, bertanya bagaimana aku bisa selancar itu.
✦✦✦
Suara TV menggema di ruang keluarga. Seperti biasa, tayangan berita malam selalu muncul di layar, disimak dengan baik oleh ayahku. Tak jarang ia ikut mengomentari isu-isu yang dibawakan oleh presenter berita, sembari marah-marah dan merasa pendapatnya selalu benar.
Aku melihatnya dari sofa besar di ujung ruangan, membantu ibuku melipat beberapa pakaian. Adikku bermain boneka di sampingku, sesekali merengek dan mengajakku bermain, namun aku mengabaikannya. Aku lebih suka membantu ibuku melipat pakaian daripada harus menemaninya bermain atau memijat punggung ayahku.
Tapi yang terakhir, itu terjadi. Ayahku tiba-tiba memanggil. Saat aku sampai di hadapannya, ia membalikkan badan, terlentang. Ia kemudian menyuruhku untuk menginjak punggungnya. Dengan wajah terpaksa, aku melakukannya. Aku naik sambil berpegangan sofa, berjalan pelan naik ke bahu, lalu turun ke bawah sampai pinggul. Selesai. Selalu berakhir sama, ayahku ketiduran.
Aku berlari menghampiri ibuku yang sudah menyelesaikan tugasnya. Ia kemudian memasukkan satu persatu pakaian ke dalam lemari, lalu mengajakku untuk tidur.