Tiga Bintang Paling Terang

Dann
Chapter #6

5. Yang Kuat yang Berekspresi

Matahari siang ini sangat terik. Aku terus saja meminum segelas air karna sangat haus dan berakhir pergi ke kamar mandi berkali-kali. Dari dapur, ibuku berteriak menyuruhku untuk segera makan siang. Aku menghampirinya, lalu duduk di sampingnya dan siap menyantap suapannya.

“Kali ini makan sendiri dulu ya, Ka, ibu mau nyuapin adikmu,” ujar ibuku lembut.

Aku cemberut, kemudian meraih sendok dengan terpaksa dan memasukkan makanan di depanku ke mulut dengan cukup cepat hingga akhirnya tersedak dan berujung dimarahi.

“Pelan-pelan dong, Ka! Kalau makan tuh dikunyah dulu sampai halus, jangan langsung ditelan!” seru ibuku dengan nada tinggi sembari membersihkan sisa makanan yang keluar dari mulutku akibat tersedak. Aku semakin kesal dengannya. Tidak seperti biasanya ibu memarahiku. Bahkan biasanya aku selalu disuapi, sedangkan adikku akan menunggu beberapa menit setelah aku selesai menyantap habis makananku.

Aku kembali melahap makananku. Kali ini tidak terlalu cepat. Usai piring di depanku bersih tanpa sisa, aku pergi dari meja makan tanpa bersuara, lalu masuk ke dalam kamar dan membanting pintu. Kemudian aku menangis tanpa sebab. Hati kecilku seakan teriris saat dibentak oleh ibuku tadi. Aku hanya ingin disuapi olehnya, seperti halnya kemarin-kemarin. Apa ibu sebenci itu padaku sekarang?

✦✦✦

“Ka! Arka!” Suara itu berhasil membangunkanku. 

Aku membuka mata pelan sambil menguap sangat lebar. Pandanganku masih buram dan membuatku enggan untuk bangun. Rasanya aku baru saja tidur satu menit, lalu ibuku membangunkanku sekarang. Ah, padahal aku ingin tidur lebih lebih lama lagi.

“Mau ikut ke rumah nenek nggak?” 

Mataku terbelalak. Ke rumah nenek? Aku tidak salah dengar, kan? Detik berikutnya aku langsung bangun, setelah itu berlari menuju ke kamar mandi untuk membersihkan wajah.

Ibuku mengeluarkan motor dan mulai menyiapkan beberapa barang yang akan dibawa ke rumah nenek.

“Udah belum, Ka?” teriak ibuku dari pelataran rumah, mulai menyalakan mesin motor.

Aku segera berlari keluar, menutup pintu dan bersiap duduk di bagian depan. Tapi ibuku menolak. “Duduk di belakang, Ka! Jagain adikmu! Ibu juga nggak terlalu bisa jaga keseimbangan kalau kamu duduk di depan,” tegas ibuku. Dengan terpaksa aku menuruti perintahnya, kemudian duduk di belakang adikku dan berpegangan erat. Motor kami lalu melaju ke jalanan.

Rumah nenek dari ayahku—Nenek Imah, cukup jauh dari rumahku. Sekitar satu kilometer. Berbeda dengan Nenek Utik yang merupakan nenek dari ibuku, rumahnya tepat di samping rumahku. Setiap akhir pekan, aku selalu diajak ibuku ke sana, entah hanya sekedar bertemu sapa, atau bermain-main sekaligus meminta daun jeruk dan kemangi untuk bumbu masakan.

Lihat selengkapnya