Aku berjalan dengan sangat gembira sambil menggendong erat tas di punggung. Senyum simpul terukir di wajahku. Matahari terus menyiram pepohonan di sekitar, namun kegembiraan ini bak payung yang melindungiku.
Satu menit yang lalu aku diberi kabar oleh Nenek Utik yang tengah menuju warung, kalau bibiku baru pulang dari luar negeri. Seketika aku langsung mempercepat langkahku sembari melompat kecil, kegirangan.
Selang beberapa saat, aku sampai di rumah. Hal pertama yang kulihat dari pekarangan rumahku adalah pintu rumah Nenek Utik yang terbuka lebar, memperlihatkan sosok perempuan berambut panjang yang tengah mengeluarkan beberapa barangnya dari koper di ruang tamu.
“Bik Aila!” Aku berteriak dengan sangat kencang, lantas berlari menuju rumah Nenek Utik untuk melepas rindu dengan bibiku. Ibuku sudah ada di sana bersama dengan bibi dan sepupuku yang lain.
“Udah gede banget sekarang kamu,” ujar Bibi Aila sembari mengecek seragam yang kupakai dari ujung kaki hingga ujung kepala. Aku berkacak pinggang, memamerkan wibawaku agar mendapat pujian lagi dari perempuan itu. “Tapi tetap aja masih kecil ....” Ia mencubit pipiku. Aku menjerit kesakitan, lalu berlari ke ibuku, bukan untuk berlindung melainkan untuk memberikan ransel.
Ibu memarahiku, menyuruhku untuk pulang ke rumah dan berganti baju terlebih dahulu. Aku abai, segera duduk di depan koper dan membantu bibiku mengemasi barang-barangnya. Nenekku akhirnya datang, membawakan beberapa bungkus nasi pecel untuk dimakan bersama. Sekali lagi aku berteriak gembira. Belajar di sekolah selama berjam-jam dan hanya memakan mi solik membuatku lapar. Aku ingin sekali makan nasi dan kebetulan nenekku peka akan hal itu. Sepertinya ia melihat wajahku yang sangat lemas saat bertemu di jalan tadi.
Kami akhirnya makan bersama-sama sambil membicarakan pengalaman bibiku di negeri rantau. Senyum manis terus saja merekah di wajah perempuan berumur sekitar dua puluh tiga tahun itu. Ia masih sangat muda untuk melakukan pekerjaan berat seperti itu. Namun untuk kuliah, nenekku juga sangat keberatan akan hal itu karna penghasilannya yang hanya berasal dari sawah atau kebun yang dirawatnya.
Rumah dengan retakan di beberapa dindingnya itu sejenak lengang. Ibu, nenek, dan Bibi Ikah—bibiku yang lain, satu persatu meninggalkan ruangan itu. Ibuku pulang ke rumah untuk mencuci baju, sedangkan nenek dan Bibi Ikah pergi ke dapur untuk mencuci piring.
Sepeninggalan mereka aku menghampiri Bibi Aila yang tengah sibuk dengan ponselnya, mengintip sesuatu yang membuatnya sibuk. Perempuan itu lalu mematikan layar ponselnya, lalu tersenyum licik ke arahku. “Apa kamu lihat-lihat?”
Bibirku mengerucut, kesal dengan gertakan dari perempuan itu. Ia kemudian tertawa terbahak-bahak setelah melihat wajahku, lantas mengeluarkan satu paket kartu remi. “Ka, bisa main kartu remi nggak?”
Aku menggeleng kuat. “Sini, bibi ajarin! Habis itu kita main, yang kalah dicoret pakai bedak, setuju nggak?”
Merasa tertantang, aku menggeleng kuat. Dengan segera aku duduk di dekatnya. Bibi Aila juga memanggil sepupuku yang lain untuk ikut bergabung. Kami kemudian dikenalkan oleh beberapa simbol pada kartu tersebut. Ada yang berlian, hati, keriting, hingga yang ujungnya lancip seperti sekop. Bibiku juga menjelaskan kalau ada satu kartu yang paling besar nilainya yaitu kartu bertuliskan “Joker” dengan gambar badut yang tengah melakukan atraksi dan aturan dalam bermain. Aku ketakutan dengan senyum badut itu, terlihat menyeramkan, namun aku berusaha abai.