Tiga Bintang Paling Terang

Aiden
Chapter #10

Pernikahan Bibi

Hari ini, pagi-pagi sekali, pekarangan rumahku ramai. Orang-orang berlarian ke sana-ke mari membawa nampan berisikan roti dan jajanan rumahan, satu persatu dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Nenek Utik berdiri di sana, menghitung berapa banyak jajanan yang sudah terkumpul dan siap dibawa ke suatu tempat.

Aku duduk di pelataran rumah nenekku, melihat hiruk pikuk kesibukan orang-orang. Aku sudah siap berangkat dengan pakaian yang dibelikan oleh Bibi Aila, namun orang-orang ini belum juga selesai dengan urusannya. Ibuku sudah dari satu jam yang lalu ikut membantu urusan di dapur rumah nenek, menyuruhku untuk mengasuh Ita.

Pukul delapan tepat. Dua mobil lain datang, parkir tepat di pinggir jalan. Semua orang mulai masuk ke tiga mobil yang sudah tersedia, dibagi sama rata. Aku duduk dipangkuan ibu dan adikku di pangkuan nenek. Tak lama kemudian mobil kami satu persatu melesat ke jalanan dan menuju ke suatu tempat yang sangat jauh.

Hari ini adalah hari bahagia untuk bibiku karna dia akan menikah. Ini sudah sekitar lima bulan sejak kepulangannya dari luar negeri. Entahlah, apakah aku harus sedih atau bahagia karna hal tersebut. Jika bibiku sudah menikah, maka ia juga akan lebih sering tinggal di rumah suaminya dan aku tidak punya teman untuk diajak bermain kartu karna jaraknya yang sangat jauh. Kita akan melewati berbagai kecamatan karna rumah calon suaminya ada di dekat pusat kabupaten, yang mana jarak dari rumahku sekitar dua puluh tujuh kilometer dan ditempuh selama kurang lebih empat puluh tiga menit, itu pun jika keadaan tidak macet.

Sepanjang perjalanan, aku bersyukur karna duduk di dekat jendela, sehingga dapat melihat pemandangan-pemandangan indah yang ada di luar sana. Gedung-gedung yang cukup tinggi, hamparan sawah-sawah yang mulai menguning dan siap panen, hingga patung-patung ikonik di perempatan atau pertigaan.

Sayang sekali di beberapa saat, aku harus berdiam diri, memaksakan diri untuk tidur karna mulai merasa mual. Tadi pagi aku tidak mendengarkan ibuku. Ia menyuruhku untuk minum obat agar tidak mual, namun aku abai dan malah melarikan diri ke rumah nenek untuk menikmati jajanan yang tersedia di sana.

Beberapa saat kemudian, kami semua sampai di depan sebuah gang. Rumah keluarga mempelai laki-laki masih sedikit jauh dari pintu gang dan mobil tidak dapat masuk ke sana, sehingga kami diharuskan untuk berjalan sekitar dua puluh meter.

Kami mengeluarkan hantaran yang sudah dipersiapkan di bagasi, lengkap dengan jajanan dari rumah nenekku tadi. Selanjutnya, kami membuat barisan yang terdiri dari dua banjar. Hiruk pikuk mulai terasa saat musik gamelan dari rumah mempelai laki-laki mengalun dengan keras. Perlahan kami mulai berjalan menuju ke sana.

Lihat selengkapnya