Tiga Bintang Paling Terang

Dann
Chapter #12

11. Rindu

Bel istirahat menggema di berbagai penjuru. Anak-anak berlarian menempati titik ternyaman mereka di sudut-sudut sekolah. Ada yang membeli camilan di kantin, nongkrong di tempat parkir, bermain sepak bola di halaman, sampai ikut guru membersihkan surau kecil di pojok sekolah.

Aku duduk di pelataran kelas sambil membawa buku pelajaran, bersiap untuk membacanya. Angin semilir berhembus, membuat tubuhku merasa segar kembali. Kelasku tidak punya kipas angin, sehingga udaranya pengap dan panas. Biasanya aku menyobek sampul buku tulis yang sudah tidak kupakai dan memakainya sebagai kipas. Begitupun dengan teman-temanku yang lain.

Aku menyeduh es teh yang kubeli dari kantin sambil membaca materi di buku pelajaran, mengabaikan sekitarku yang penuh dengan kesibukan. Mataku terfokus pada satu titik. Bahkan telingaku mulai abai dengan teriakan dan tawa anak-anak yang lepas. Beberapa hari yang akan datang, ujian semester akan dilaksanakan. Aku harus bersiap dari sekarang jika ingin mempertahankan posisiku sebagai juara kelas. Asal kalian tahu, pertarunganku tiap tahunnya untuk berada di posisi itu tidaklah mudah. Di kelasku, ada dua anak lain yang juga menjadi kebanggaan guru. Kami bertiga selalu bertarung dengan sengit memperebutkan posisi terbaik. Selain itu, kami juga pintar di tiga bidang umum. Aku ahli di bidang Bahasa Indonesia, Arel pandai di bidang Matematika, dan Aldi pandai di bidang IPA. Itulah yang membuat kami selalu berduel demi mendapatkan posisi terbaik di mata pelajaran yang lain.

Bel masuk kemudian berbunyi. Sontak aku langsung masuk ke dalam kelas dan duduk di bangku, lalu kembali membaca buku sembari menunggu guru datang. Pelajaran berlangsung selama satu jam dan aku menyimak penjelasan dari guru dengan saksama, mencatat semua poin yang penting, serta aktif bertanya jika ada yang belum kupahami.

Pulang sekolah kali ini berbeda dengan biasanya. Jika biasanya aku langsung pulang ke rumah, kali ini aku harus menunggu kakek dari ayahku—Kakek Basri menjemput. Teman-temanku yang lain mengajakku untuk bermain sebentar di halaman masjid desa, namun dengan tegas kutolak. Aku ingin istirahat di rumah kemudian fokus untuk kembali belajar.

Tak lama kemudian, kakek datang. Ia langsung memutar kemudi motornya dan menyilakanku untuk naik. Kami akhirnya berangkat menuju rumah nenekku yang jaraknya sekitar delapan ratus meter. Belakangan ini, aku dan adikku tinggal bersama Kakek Basri dan Nenek Imah. Ini sudah minggu ketiga sejak ibuku terbaring lemah di ruang tengah waktu itu. Ia kemudian dibawa ke rumah sakit oleh ayahku dan menginap di sana. Sudah satu minggu aku tidak bertemu dengannya. Aku merindukan momen-momen saat bergurau dengannya, makan malam bersama, menonton TV bersama, hingga pergi ke sungai untuk mencuci bersama. Di rumah nenek, aku melakukan semua itu sendiri. Aku bahkan mencucikan pakaian Ita, menyuapinya makan, dan mengajaknya bermain sepulang sekolah.

Ayahku tidak pernah pulang. Sekalipun pulang, pasti hanya mengambil baju ganti atau keperluan lain. Rumahku berantakan, tak ada yang mengurusinya. Terkadang Nenek Utik pergi ke sana hanya untuk menyalakan dan mematikan lampu teras. Aku juga jarang ke sana, biasanya hanya mengambil beberapa baju dan buku-buku pelajaran yang tertinggal, atau jika Kakek Basri terlambat menjemput, aku akan ke rumah Nenek Utik dan membantunya memetik jeruk.

Lihat selengkapnya