Lima hari kuhabiskan dengan rutinitas yang sama. Pagi hari sibuk dengan belajar di sekolah, lalu bermain dengan Asya dan Ita hingga sore, kemudian mengerjakan tugas, dan malam harinya menonton TV bersama orang-orang di rumah Nenek Imah.
Ayahku jarang memberikan kabar mengenai ibuku. Biasanya setiap malam ia akan menelepon tante dan membiarkanku bertatap muka dengan ibu lewat layar. Namun belakangan ini, ayah selalu bilang kalau ibu butuh waktu istirahat agar segera pulih. Itulah yang membuatku semangat.
Di siang-siang yang sangat terik. Aku bermain petak umpet bersama Asya, Ita, dan beberapa sepupuku yang lain. Kami tertawa dengan lepas layaknya anak kecil pada umumnya.
Mula-mula aku yang harus jaga, mulai berhitung dengan sangat cepat agar segera menemukan mereka dan memenangkan permainan. Sepuluh detik lengang. Empat anak lainnya sudah bersembunyi, termasuk Asya dan Ita. Waktunya aku mencari sambil berjinjit, berharap mereka tidak mendengar derap langkahku sehingga tidak menyadari keberadaanku.
Aku berhasil menemukan Ita. Kami sama-sama berteriak saat detik pertama berkontak mata, lantas berlomba siapa yang cepat sampai di pilar tempatku berjaga. Tentu saja aku yang lebih dahulu menyentuh pilar itu. Kaki pendek Ita membuatnya lebih lambat dalam berlari. Sedangkan aku yang dua tahun lebih tua darinya, dengan kaki yang cukup panjang dan langkah yang cukup lebar, tentu akan dua kali lebih cepat dari gadis itu.
Aku kembali masuk ke dalam rumah sepupuku, mencari Asya dan yang lainnya. Tiba-tiba, telingaku berdengung. Sesuatu seakan mengganggu gendang telinga. Sontak aku berjongkok, mencoba untuk menenangkan diri. Napasku tercekat sesaat. Aku bisa mendengar suara jantungku yang seakan hendak keluar dari tempatnya. Asya yang bersembunyi tak jauh dariku langsung keluar dan menyenggol dengan keras tubuhku. “Aku menang!” teriaknya sembari melompat kegirangan setelah lebih dahulu menyentuh pilar. Empat sepupuku yang lain satu persatu keluar dari tempat persembunyiannya dan memenangkan permainan. Aku hanya terkekeh pelan sembari mencoba untuk berdiri.
Di sela-sela tawa kami, suara sirine yang bising tiba-tiba terdengar. Perempatan dekat rumah sepupuku ramai dengan pengendara motor, disusul dengan ambulans yang mengekor di belakangnya. Kami semua terdiam seketika. Suasana tidak enak menyelimuti hatiku.
Dari gang sempit di samping rumah sepupuku, salah satu kerabatku muncul, memanggilku dan Ita untuk ikut dengannya ke suatu tempat. Katanya untuk jalan-jalan. Aku suka dengan jalan-jalan. Biasanya kami akan membeli es ataupun minuman dingin lainnya sambil menikmati semilir angin pedesaan. Aku dan Ita berpisah dengan yang lain sambil tertawa gembira.
Benar saja. Usai menyusuri gang sempit, Bu Kila—kerabat dari keluarga nenekku, menyuruhku untuk segera naik ke motor yang dikendarainya. Ita yang masih kecil duduk di depan dan aku di belakang sambil berpegangan erat. Motor yang kami naiki mulai melesat ke jalanan yang lengang. Kami akhirnya jalan-jalan menggunakan motor.
Aku tersenyum gembira sambil menikmati udara segar menerbangkan rambut dan kerah bajuku. Tapi seketika hilang saat aku menyadari kalau Bu Kila membawaku ke jalan menuju rumah. Pikiranku tiba-tiba saja kacau, bersamaan senyum yang hilang dihempas angin. Ita di depan masih tertawa sambil bersenda gurau dengan perempuan itu, sedangkan aku mulai merasakan kegelisahan yang tidak tahu datang dari mana.