Tiga Bintang Paling Terang

Dann
Chapter #14

13. Gemuruh Petir Setelah Itu

Seminggu berlalu begitu cepat. Sehari usai momen menyedihkan itu, aku memutuskan untuk berpindah kamar, memilih untuk sendiri. Sedangkan Ita akan tidur bersama dengan ayah di kamarnya. Setiap malam, aku menulis sebuah surat untuk ibuku, sembari mendengarkan orang-orang mengaji di luar kamar. Tak jarang buku di tanganku basah karna air mata, namun sesegera mungkin kubereskan. Biasanya aku akan berjalan mondar-mandir di samping ranjang hingga kesedihanku usai.

Hari ini, aku mengajak Ita untuk mewarnai bersama. Sebentar lagi ia akan memasuki taman kanak-kanak. Aku ingin membuatnya terbiasa dengan semua hal yang diajarkan di sana. Aku bahkan meminta ayahku untuk membelikan dua buku mewarnai, dua buku belajar membaca, dan satu buku berhitung. Namun ayahku hanya membelikan satu buku mewarnai, dengan ukuran yang besar sekaligus. Akhirnya aku ikut turun tangan. Uang saku sekolahku dan juga uang untuk membeli makanan atau camilan sampai ayah pulang, kugunakan untuk membelikannya buku membaca di toko buku kecil dekat sekolahku. Jika kami lapar, kami biasanya pergi ke rumah Nenek Utik dan perempuan itu akan memasakkan makanan yang lezat dengan tangan hebatnya.

“Ini warna apa?” tanya Ita sembari mengangkat krayon berwarna merah muda. Itu krayon pemberian Bibi Aila sebelum ia kembali bekerja di luar negeri, tepat lima hari setelah hari kematian ibu.

“Itu merah muda atau pink,” jawabku lembut.

“Ini apa?”

“Biru.”

“Kalau untuk mewarnai langit pakai warna ini ya?” Ia menunjukkan warna hijau.

Aku menggeleng kuat. “Jangan, dong. Nanti jadi kaya rumput.” Lantas mengambilkannya krayon berwarna biru muda. “Langit itu pakai warna yang ini.”

Lihat selengkapnya